Review/Liputan


Oleh : Andy Sri Wahyudi

Tepat pukul 20:00 WIB pada tanggal 23 Juli 2010 di ruang perpustakaan Bengkel Mime Theatre, ada sebuah  pementasan mini dengan penonton 15 orang. Rendra Bagus Pamungkas, aktor yang aktif di komunitas Seni Teku dan Teater Gandrik Muda menggelar pentas monolog berjudul Et Urinoir. Dalam ruang berukuran 6 x 4 meter tersebut, area yang digunakan sebagai panggung pementasan hanya 2 x 4 meter. Kecil dan sempit memang, akan tetapi aktor tampak bebas bermain dalam ruang tersebut.

Panggung yang semula adalah ruang berdinding batu bata, beratap anyaman kulit bambu, berjendela, dan berpintu itu ditutup dengan kardus yang dicat warna hitam. Di atas warna hitam itu ditempelkan kubus, bujur sangkar, persegi panjang, dan kerucut warna-warni sehingga tampak tonjolan-tonjolan yang menghidupkan ruang gelap tersebut. Pada dinding di sisi belakang penonton dilukis sebuah gambar sayap malaikat berwarna pink. Pada lantai juga diletakkan kubus-kubus berwarna hijau yang tersebar acak. Ruang kecil itu berubah menjadi dunia fantasi yang berpenghuni mahkluk aneh: manusia berkulit putih sapi, berpakaian daster dengan bawahan lebar, berkepala botak ―hanya menyisakan rambut belakang yang dikepang dua panjang, kaku mencuat ke samping kanan dan kiri.

Rendra Bagus Pamungkas dalam Et Urinoir

Tokoh dalam Et Urinoir tak jelas jenis kelaminnya; ia semacam gambaran potret diri yang tengah mencari identitas hidupnya. Ia bercerita perihal perjalanan yang tak kunjung selesai dan menemui banyak pertanyaan dalam hidupnya. Ia begitu kesepian dalam perjalanan meski bertemu dengan banyak hal yang aneh: Angin Merah Jambu, Tomat Sombong, dan Paman Gajah. Pertemuan itu adalah gambaran kebingungannya sendiri, ia seperti dihadapkan dengan simbol-simbol hidup yang meresahkan.

Teks cerita ditulis dengan imajinasi yang atraktif:

Aku hanya ingin bertanya tentang angin merah jambu di sepetak tanah kecil dan apa yang sedang mereka bicarakan.

Tahukah kau berapa jumlah jari-jariku, kenapa perutku menjadi buncit? Tahukah kau mengapa aku mengambang di atas teratai? Dan tahukah kau mengapa aku tak pernah tergelincir meski aku berjalan di atas bola yang terbuat dari kulit pisang?

Begitulah sepenggal percakapan yang kerap diulang tanpa kepastian ujung. Kepastian yang masih dirahasia. Yapz! seperti judulnya , Et Urinoir―yang artinya tempat untuk buang air kecil―dimaknai sebagai dunia kecil yang sangat rahasia, hanya kita yang tahu.

Lahirnya Ruang dan Musik

Tim kerja dalam pementasan Et Urinoir ini tidak banyak, hanya terdiri dari Rendra Bagus Pamungkas sebagai penulis teks sekaligus pemain, Miftaqul Effendi dan Dino sebagai penata setting, dan Lintang sebagai penata musik. Awalnya, Rendra mengajukan teks kepada penata setting dan penata musik, dan dari pembacaan itu muncul imajinasi ruang dan musik. Miftaqul Effendi mengemukakan gagasan ruang kecil dengan ornamen-ornamen bangun matematika. Visual set panggung terinspirasi dari teks yang atraktif dan kekanakan yang kemudian diwujudkan menjadi ruang fantasi yang dasar idenya adalah ruang yang melawan gravitasi. Tak ada batas antara atap, lantai, dan dinding; semua berisi ornamen yang setipe. Sejujurnya imajinasi ruang tersebut menghendaki pemain menginjakkan kakinya di mana saja.

Musik turut berperan dalam mewujudkan dunia baru yang dikehendaki teks. Lintang menggunakan musik “Chiptune”, mirip bunyi dalam game Nitendo, yang diperdengarkan sesekali. Lintang menghadirkan musik dengan volume yang tidak melulu keras namun kadang lirih, sehingga permainan menjadi berirama. Ruang kecil itu semakin kuat membangkitkan imaji dunia fantasi ketika berpadu dengan musik. Untuk menambah kuat kesan fantasi pada pementasan ini, penonton yang hadir dihadiahi sebatang  permen lolipop dari gulali dan kacamata tiga dimensi.

Sementara sebagai aktor, Rendra berusaha memacu imajinasinya untuk memaksimalkan gerak tubuh tanpa harus mengada-ada. Ia ingin berakting secara natural, akan tetapi di lain sisi permainannya justru membuat ruang menjadi terasa tidak wajar, lantaran ia lebih banyak mengeksplor gerak tetapi tidak mencoba merespon ruang yang berornamen itu. Ruang seolah hanya menjadi dekorasi atau hiasan permainan, ia seperti  terkurung dalam sangkar yang fantastis .

Pementasan Et Urinoir adalah suguhan karya yang berupaya mensinergikan antara akting, musik, dan ruang. “Apapun yang terjadi, karya ini akan terus saya eksplorasi”, begitu kata Rendra.

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)

Komentara Penonton:

Pementasan Et Urinoir ini menurut saya masih merupakan sebuah pemanasan dari sebuah perjalanan panjang keaktoran seorang Rendra. Kalau Rendra bisa dengan cerdik menggali lebih banyak lagi referensi pemanggungan sebagai bentuk pementasan, lakon ini akan berkembang. Dan hal itulah yang akan dinantikan oleh banyak orang. (Giras Basuwondo, 30 tahun, pekerja film)

Sebuah “proyek penghadiran”  mimpi dan imajinasi yang sangat tekun. Di sini saya kira tidak perlu ada perbantahan tentang  letak kata-kata yang tepat. Semua indah dan nikmat dalam ruang imajinatif. (Franz, 35 tahun, fotografer)

Latar panggung bagus tapi ada satu bagian yang ceritanya mubeng ga bisa ngembang… tapi secara keseluruhan apik karena ceritanya tidak terbata-bata. (Dhisga Amandatya, 16 tahun, pelajar SMP Imaculata)

Oleh: Ari Dwianto*

Studiklub Teater Bandung (STB) mementaskan sebuah pertunjukan yang mereka sebut Komedi Stamboel dengan judul “Ah, Matjam-matjam Maoenja“. Naskah terjemahan Asrul Sani dari karya Moliere yang berjudul Les Precieuses Ridiculous itu dipentaskan dalam babakan tiga stamboel. Pertunjukan tersebut merupakan rangkaian pentas keliling STB di empat kota yaitu  Solo, Bali, Mataram, dan Yogyakarta. Di Yogyakarta pertunjukan diadakan di Auditorium Teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) pada 21 Juni 2010 pukul 16.00 WIB.

Pertunjukan dibuka dengan nyanyian yang diiringi musik keroncong. Para pemain berada di atas panggung dan bergiliran untuk memperkenalkan peran yang dimainkan dengan gaya dan karakter perannya. Adalah seorang Ayah yang kolot dengan dua anak gadisnya yang centil dan seorang kacung rumah tangga. Ditambah dua orang bangsawan yang jumawa dan dua pelayannya yang menyamar sebagai bangsawan muda perlente.

Foto: Andika Ananda

Sandiwara pun dimulai. Dua orang laki-laki bangsawan menunjukkan kekecewaan dan sakit hatinya lantaran lamaran nikahnya baru saja ditolak. Mereka kemudian merencanakan sesuatu untuk membalas perlakuan gadis-gadis yang menolak lamaran mereka.

Adalah dua orang gadis remaja: seorang anak dari keluarga berada dan sepupunya. Mereka menolak untuk dijodohkan oleh sang ayah karena menurut mereka cara perjodohan terlalu berbau dagang. Mereka menginginkan seorang laki-laki yang mempunyai cita rasa muda, perlente, dan romantis. Maka ketika datang dua orang pemuda yang menurut pandangan mereka layak masuk dalam kriteria laki-laki pujaan, mereka pasang aksi agar bisa merebut hati pemuda-pemuda tersebut. Kekonyolan-kekonyolan pun terjadi. Sampai pada akhirnya terbukalah kedok kedua pemuda tersebut, ternyata mereka adalah pelayan dari bangsawan yang lamarannya telah mereka tolak.

Pertunjukan ditutup dengan nyanyian.

KOMEDI STAMBOEL

Komedi stamboel atau komedi bangsawan adalah lakon kocak yang pada jamannya dibawakan berkeliling dari kota ke kota oleh sekelompok pemain sandiwara. Musik, nyanyian, serta tarian memegang peranan penting dalam sandiwara ini.

STB memilih bentuk komedi stamboel karena ingin menampilkan semangat Moliere dalam melontarkan kritikan dalam balutan banyolan. Untuk mendekatkan situasi dan kondisi yang digariskan dalam naskah, latar waktu yang dipilih dalam cerita sandiwara ini adalah pada paruh awal tahun 50-an, di mana gaya feodal masih mencengkeram kalangan tua sementara kalangan muda mulai terpengaruh gaya hidup warisan kolonial. Latar tempat kejadian dalam lakon ini adalah sebuah rumah orang kaya di pinggiran ibukota.

Ciri komedi stamboel pada pementasan sandiwara ini diperlihatkan dalam unsur-unsur pertunjukan yang mereka gelar. Nyanyian dan tarian menjadi bagian pertunjukan sandiwara, dengan musik keroncong sebagai iringan, sementara para pengiringnya ditampilkan di atas panggung. Bentuk karikatural dipilih untuk akting, gerak, dan gestur pemain. Sementara itu set panggung dan tata cahaya dihadirkan dengan sederhana.

Musik keroncong menjadi pengiring pertunjukan.

Meski dengan tata panggung yang minimalis, pertunjukan sandiwara ini tidak kekurangan daya tariknya karena teknik permainan para aktornya sudah mampu memberi kekuatan pada pementasan sandiwara komedi ini. Akting, gerak, dan gestur karikatural dari pemain yang ditata sedemikian rupa dapat memunculkan banyolan dan kekonyolan yang mengocok perut penonton.

Jika mau menunjuk kelemahan, maka hal itu terlihat pada set panggung yang terkesan naif dan hanya menjadi dekorasi. Sebenarnya dengan panggung yang minimalis tersebut, terbuka kemungkinan untuk mementaskan sandiwara ini tidak di dalam gedung pertunjukan tetapi di ruang yang lain, yang memungkinkan jarak penonton lebih dekat sehingga pemain dapat melibatkan penonton dalam permainan. Dengan demikian, banyolan dan kekocakan dalam naskah sandiwara ini bisa dibangun bersama penonton.

* Ari Dwianto, reporter skAnA, aktor Bengkel Mime Theatre

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)


Tim Kerja

Sutradara: IGN. Arya Sanjaya/ Pimpinan Produksi: Dra. Sugiyati SA/ Pimpinan Pentas: Dwi Setiona/ Pimpinan Artistik: Diyanto/ Penata Busana: Dra. Sugiyati SA/ Penata Rias: Yoyo Pasopati/ Penata Cahaya: Moel MGE/ Pemusik: Ahmad Mukyawan, Mulyana Kamsoy, Aris Munandar, Ricky Mulyana, Agung/ Pemain: Ayi Kurnia Iskandar, Dedi Warsana, Kemal Ferdiansyah, Deden Syarif, Aji Sangaji, Ria Ellysa Mifelsa, Deti Gartika, Dwi Setiono

Komentar penonton:

Asyik, aktingnya rata-rata oke walau terkesan agak jadul dari segi pilihan tema naskah, bentuk dan set artistik. Selama di Jogja aku belum pernah melihat teater kayak gitu, bisa dijadikan referensi. Melihat pentas Studi Teater Bandung sore itu aku banyak belajar. (Andhika Ananda, aktor kelompok Seni Teku)

Oleh: Afrizal Malna*

Mime, teater, dan tari berusaha dipertemukan. Manusia yang terbuat dari penggorengan, berusaha merebut seorang putri yang terbuat dari embun. Cerita dibiarkan berjalan sederhana, tanpa strategi menjadikannya narasi baru atau narasi yang rusak. Cerita diperlakukan hanya sebagai tulang punggung pertunjukan: sederhana, klasik, sudah dikenal kebanyakan penonton. Cerita yang tidak berbeda jauh dari kisah Ramayana.

Bengkel Mime Theatre, dalam pertunjukan mereka: Putri Embun Pangeran Bintang, Epos Mini Perkakas Rumah Tangga (29-30 Mei 2010, Taman Budaya Yogyakarta), memang melakukan strategi teks seperti ini (teks digunakan hanya sebagai alur pertunjukan berdasarkan cerita yang sudah dikenal).

Perabotan yang Menculik Cinta

Ketika narasi hanya digunakan sebagai kerangka pertunjukan, tidak dibunuh atau dirusak (dari praktek kebosanan atas cerita maupun kebencian terhadap tokoh dalam cerita), maka struktur dibiarkan seperti “kereta paman Bobo” yang berjalan mengelilingi taman. Taman itu adalah taman bintang-bintang (tempat tinggal Pangeran Bintang, diperankan Ari Dwianto) dan rembulan yang sedang flu, selalu bersin-bersin (diperankan Hindra Setyarini).

Yang dihadapi oleh mahluk angkasa ini, adalah sesuatu yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. Yaitu munculnya mahluk-mahluk yang terbuat dari perabotan rumah tangga yang tiba-tiba mengusik ketentraman mereka. Mahluk-mahluk yang terbuat dari perabotan rumah tangga ini muncul sejak Pangeran Bintang memadu cinta dengan Putri Embun (diperankan Eka Nusa Pratiwi). Tetapi ada mahluk dari perabotan lain yang membela Pangeran Bintang, yaitu kakek-nenek yang terbuat dari meja dan kursi (diperankan Ficky Tri Sanjaya dan Nunung Deni Puspitasari); mahluk yang terbuat dari piring-piring plastik, sendok dan garpu (diperankan Yuniawan Setyadi); serta mahluk yang terbuat dari sekumpulan panci (diperankan Bagus Taufiqurahman).

Nenek Kursi dan Kakek Meja. Foto: Afrizal Malna

Biang kerok dari keributan yang terjadi di taman bintang-bintang itu, adalah munculnya mahluk yang terbuat dari penggorengan (diperankan Asita) dengan gerombolannya: anjing besi diperankan Febrinawan, prajurit terbuat dari kaleng kerupuk dan drum plastik (diperankan Ahmad Jalidu dan Ficky). Gerombolan ini berusaha merebut Putri Embun dari Pangeran Bintang. Maka bintang-bintang kemudian harus berhadapan dengan gerombolan yang terbuat dari perabotan rumah tangga. Perabotan seakan-akan bergerak dan berperang untuk menculik cinta.

Distraksi Perabotan

Andy Sri Wahyudi, sutradara pertunjukan ini, maupun Beni Siswo Wardoyo (artistik), tidak memaknai perabotan rumah tangga yang mereka gunakan dalam kerangka ideologis. Perabotan itu hanya dilihat sebagai bentuk visual. Tidak menyertai lingkungan teks dari masing-masing perabotan yang berbeda satu sama lainnya (bulan dari sekumpulan tampah, figurasi lain dari kaleng kerupuk, gantungan baju, panci, penggorengan, pipa penyedot air, saringan air plastik, piring plastik, drum plastik, lap tangan, baskom plastik, dan seterusnya beberapa figur mengenakan lampu kerlap-kerlip.

Seluruh perabotan tersebut mengalami distraksi, dialihkan dari fungsi dan karakternya. Yang diapresiasi hanyalah bentuk dari masing-masing perabotan untuk menggantikan anatomi aktor. Maka gerak dan gestur aktor sangat ditentukan oleh perabotan yang digunakan dan bagaimana perabotan itu dikoneksikan ke tubuh aktor. Hasilnya: perabotan itu tidak hanya menjadi kostum untuk aktor, tetapi juga menjadi bangunan yang menggantikan tubuh aktor. Perabotan itu menjadi arsitektur baru untuk tubuh aktor.

Asita memerankan Pangeran Wajan

Penggunaan perabotan seperti ini tidak hanya menghasilkan distraksi atas lingkungan narasi di sekitar perabotan, melainkan juga menghasilkan distraksi sekaligus terhadap tubuh aktor. Fungsinya: melakukan semacam penggemparan imajinasi terhadap realitas pertama dari perabotan dan tubuh aktor. Medan imajinasi kemudian terbuka untuk memasuki narasi yang dibebaskan dari grafitasi logika. Sayangnya desain lighting dan musik, tidak cukup mendukung terciptanya ruang untuk narasi yang dibebaskan dari grafitasi logika ini.

Tarian Penggorengan Bolong

Pertunjukan menggunakan tiga ruang dengan konsep yang berbeda, walau menggunakan perabotan yang sama. Ruang pertama berlangsung di halaman gedung pertunjukan. Di ruang ini, perabotan diperlakukan sebagaimana biasanya: penggorengan untuk masak, baskom untuk mencuci, mixer untuk membuat juice. Semuanya berlangsung di antara suara reporter bola yang menyiarkan sebuah pertandingan bola menggunakan megaphone.

Adegan di halaman gedung pertunjukan

Situasi yang menggambarkan realitas pertama dari perabotan rumah tangga ini, mulai mengalami distorsi dengan munculnya tarian penggorengan bolong yang dilakukan Eka, tarian meja dan kursi oleh Ficky dan Nunung (koreografi, Ari Dwianto).

Ruang kedua dibuka di loby ruang pertunjukan. Dalam ruang ini, aktor dan perabotan hadir seperti sebuah fashion: perkenalan pertama untuk memasuki ruang pertunjukan. Kereta yang terbuat dari meja dan kursi juga mulai berkeliling membawa aktor-aktor yang akan pentas. Lalu mahluk yang terbuat dari penggorengan dan anjing besi, dengan lampu kerlap-kerlip memenuhi bangunan tubuh mereka, mulai menggiring penonton memasuki ruang pertunjukan. Maka perayaan atas imajinasi mulai dilakukan di panggung pertunjukan mereka.

Sayatan Atas Struktur

Menggunakan cerita klasik hanya sebagai tulang punggung pertunjukan, lalu orientasi pertunjukan diarahkan kepada pencapaian ruang gerak imajinasi seluas-luasnya, ternyata tidak mudah. Perabotan itu, walaupun memang didistraksi dari lingkungan fungsinya, tetap merupakan benda-benda yang kita kenal. Narasi yang melekat pada fungsinya, tetap menghasilkan negosiasi yang bimbang antara apa yang terjadi di atas pentas, dengan pengalaman penonton terhadap perabotan itu.

Cerita sebagai tulang punggung pertunjukan, lantas berisiko ikut memiskinkan tumbuhnya ruang imajinasi antara dunia bintang-bintang dan perabotan rumah tangga. Andy berusaha mengatasi risiko ini dengan melakukan sayatan-sayatan atas alur pertunjukan yang berlangsung. Ketika Pangeran Bintang sedang bertarung dengan manusia penggorengan, misalnya, tiba-tiba muncul seorang ibu (diperankan Nunung) yang mengejar anaknya (diperankan Megatruh), berteriak-teriak menyuruh anaknya pulang. Ketika adegan sayatan ini berlangsung, adegan sebelumnya segera dibekukan, seperti potret kaku. Setelah adegan ibu dan anak usai, adegan sebelumnya kembali bergerak.

Epos mini tentang perabotan rumah tangga ini, akhirnya memang sebuah upacara yang merayakan kebebasan imajinasi. Imajinasi untuk mengatakan tentang sebuah galaksi di dalam dapur kita sendiri. Dan kita tidak tahu: mungkin setiap hari ada yang berperang dalam dapur rumah tangga kita.

Yogyakarta, 2 Juni 2010

* Afrizal Malna, penyair, tinggal di Nitiprayan Yogyakarta

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)

Tim Kerja:

Pimpinan produksi: Andy Sri Wahyudi/ Staf Produksi: M. Ahmad Jallidu dan Eva Mutiara/ Sutradara: Andy Sri Wahyudi/ Aktor: Ari Dwianto, Asita, Ficky Tri Sanjaya, Yuniawan Setyadi, M. Ahmad Jalidu, Eka Hindra Setyarini, Febrinawan, Eka Nusa Pratiwi, Nunung Deni Puspitasari, Megatruh, BAgus Taufiqurahman/ Musik: Ari Wulu/ Lampu: Sugeng Utomo/ Aristik: Beni Siswo Wardoyo/ Penata Teks: Wahmuji

Komentar penonton:

Menurut saya pentas ini bentuk inovasi baru yang mengemas pantomim dengan gaya baru. Ide yang fresh, dengan ‘memberi nyawa’ terhadap perkakas yang selama ini setia dalam keseharian kita. Meskipun alurnya/ tema sangat biasa namun pertunjukan ini cukup menarik dan mengundang decak kagum. Kelemahan sangat terasa pada sound atau musik. Sebenarnya itu fatal tetapi tertolong dengan konsep kostum yang indah dan unik. Saya senang! Pertunjukan yang beda dan mengesankan. (Asih, 24 tahun, Bekerja di Perusahaan Swasta. PT Milennium PF. Financial Consultant)

Pentasnya critane lucu dan kostumnya keren. Jadi serasa nonton film Holywood. (Mohamad Nur Komarudin, usia 25 Tahun, Aktor Muda Jogja)

Pentasnya seru n banyak pernak-pernik, adegan di lobi sangat menarik, adegan di dalam panggung (sedikit) menguji ketahanan dalam duduk penonton. (Darmanto, Pekerja Seni )

Menurut aku pentas Bengkel kemarin adalah mimpi masa kecilku yang jadi kenyataan. Aku kangen masa-masa itu. Terima kasih sudah menghadirkan sesuatu yang lama hilang di hidupku. (Ucog Lubis, Aktor)

Oleh: Andy Sri Wahyudi

Suara jerit anak-anak kecil, celetukan pemuda, rumpian ibu-ibu, dan pedagang tiban menawarkan dagangan menghiasi sebuah gang. Ramai, guyup, dan meriah di bawah terang sinar bulan. Suasana itulah yang hadir dalam penyelenggaraan pementasan “Suk-suk Peng” karya Bambang Widoyo SP yang dibawakan oleh Komunitas Sego Gurih. Suasana layaknya pesta rakyat tersebut terjadi pada tanggal 14 Juli 2010 di Sanggar Omah Opak yang berada di dusun Karang Ploso, Sitimulyo, Piyungan, Bantul.

Suk-suk Peng menggambarkan semangat bertahan hidup orang-orang yang sering disebut kurang beruntung di tengah jaman yang dikuasai modal. Pelok (Ibnu “Gundul” Widodo) seorang loper koran, Emak (Nurul Jamilah) si tukang kerok, dan Jarot (Suhunan “Kadir” Hamzah) si preman kampung; mereka adalah tokoh-tokoh kaum tersingkir yang menjadi korban derap pembangunan. Di sisi lain Ndoro Kakung (Elyandra) dan Ndoro Putri (Aditta Dea Mastro) adalah tokoh-tokoh yang hidupberkecukupan di rumah mewah dengan pembantu centil bernama Klenyem (Si Y).

Cerita diawali percakapan santai antara Emak dan Pelok perihal kerasnya hidup yang harus dihadapi. Kemudian Jarot dengan sikap yang semaunya sendiri datang menanyakan keberadaan pacarnya. Konflik mulai tumbuh ketika Pelok berkasih-kasihan dengan Klenyem dan akhirnya menghadapi kenyataan cintanya kandas lantaran Ndoro Kakung telah menghamili Klenyem. Sementara itu, Prasojo (anak Ndoro Kakung) mempunyai hubungan dengan pelacur yang berstatus pacar Jarot. Hal itu membuat Jarot marah besar lalu melabrak ke rumah Ndoro Kakung, hendak membuat perhitungan dengan Prasojo. Cerita berakhir tragis ketika Ndoro Kakung dan Ndoro Putri mati lantaran tak sanggup menghadapi permasalahan itu.

Dua Titik yang Menggairahkan Penonton

Beranda rumah kepala dusun yang dijadikan setting rumah Ndoro Kakung dan Ndoro Putri

Ruang pementasan dibagi menjadi beberapa titik, namun ruang inti berada di dua tempat  yakni di beranda rumah kepala dusun dan di bekas reruntuhan bangunan berlatar kebun pisang yang terletak di seberang rumah, yang juga menjadi tempat para pemusik. Panggung dibelah oleh gang yang dijadikan sebagai tempat penonton.

Perpindahan adegan yang sering kali terjadi dengan tiba-tiba sering membuat penonton dibuat bingung namun justru membangkitkan susanana yang segar. Misalnya, ketika adegan Emak dan Pelok yang sedang bercakap-cakap tiba-tiba adegan berganti di beranda yang menggambarkan rumah Ndoro Kakung. Maka penonton seperti diberi aba-aba memutar tubuhnya dan merespon dengan gerutu yang sekenanya, “Woo..lha pindah nggon to dramane? Wah Jyaan…”, begitu ucap salah seorang ibu. Perpindahan itu tak hanya terjadi sekali dua kali, namun beberapa kali, bahkan ada adegan yang terjadi di tempat duduk penonton. Suasana menjadi sangat cair dan menggembirakan, ketika anak-anak merespon hal itu dengan sesekali mengganggu aktor yang sedang berakting di antara penonton.

Aktor dan pemusik di atas panggung: bekas reruntuhan bangunan

Permainan ruang yang diusung Sego Gurih ini disebut sapit urang, menurut Yusuf Abdilah, sang sutradara. Penonton dibuat terjebak ketika terjadi pembalikan arena permainan. Tak seperti pementasan pada umumnya: pemain dikepung penonton, namun dalam pementasan ini justru pemain mengepung penonton. Penonton sengaja dijebak ke dalam dunia panggung yang biasanya berjarak. Strategi ini menjadikan adegan tampak hidup lantaran penonton memberikan kontribusi “gangguan” yang segera direspon oleh aktor. Suasana semakin seru ketika para pemusik yang selain menghidupkan adegan dengan aransemen musiknya yang kocak juga turut mengomentari pemain. Di sini kemampuan aktor dalam menghidupkan peristiwa dan cerita benar-benar diuji.

Pementasan Suk-suk Peng ini tak hanya dipentaskan di Sanggar Omah Opak saja, namun juga di empat tempat yang lain yaitu Balai Budaya Samirono, Tembi Rumah Budaya, di dusun Bantar (Bangun Cipto, Sentolo, Kulonprogo) dan terakhir di Wirosaban; yang masing-masing mempunyai karakteristik ruang tersendiri.  Sebelum bermain, teman-teman dari Komunitas Sego Gurih ini memilih ruang kemudian membuat pola permainan dengan mengedepankan akting para aktornya. Mereka bermain dengan spirit tradisi yang membebaskan dari pernak-pernik teknis pementasan teater modern; bermain dengan memanfaatkan ruang dan benda-benda yang dapat digunakan sehingga panggung menjadi lebih luwes dan menggembirakan. Penonton pun lebih bergairah menikmati pementasan sekaligus menjadi bagian dari peristiwa teater. Hal ini seturut cara mereka memaknai ruang sebagai tempat terjadinya proses komunikasi yang terjalin dari niat, kerja, ide, hingga terjadi peristiwa.

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)


Tim Kerja Suk-suk Peng:

Pimpinan Produksi: Febrian Eko Mulyono/ Creative Design Publikasi: “Clown” Syndicate/ Sutradara: Yusuf “Pecel Peci Miring”/ Pemain: Ibnu “Gundul” Widodo, Elyandra, Si Y, Nurul Jamila, Suhunan Hamzah/ Penata Setting: Beni Wardoyo, Ujang, Wawan/ Penata Cahaya: Dwi Vian/ Make Up&Kostum: Dhani Brain/ Stage Manager: Febrian Eko Mulyono/ Manager Latihan: Resti/ Pemusik: Ki Sawito , Dadang,Katrok, Tony Steve, dkk.

Komentar Penonton:

Aktris yang jadi emak keren, aktingnya natural tidak dibuat-buat dan bisa merespon penonton. (Astuti, 30 tahun, bekerja di LSM anak)

Asyik deh…merasakan proses pertemuan naskah dan masyarakat. (Mucklas, 27 tahun, pemuda desa Karang Ploso)

Bagus, mereka bisa menjadikan kesalahan drama menjadi salah satu bentuk interaksi terhadap penonton. Dan itu sangat bagus. PD ABIS… (Mas Yanto, 20 tahun, bekerja sebagai volunter di Sekolah Mbrosot, Kulon Progo)

Oleh: M. Iwan M.

Judul di atas adalah tajuk pertunjukan teater persembahan Teater Tangga Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang berkolaborasi dengan beberapa UKM kampus seperti UKM Musik, MM Kine Klub, RPC, Fotka, Ciko, Ikom Radio, dan Minoritas Seni Kramotak pada tanggal 18 maret 2010 di pendopo kantin selatan kampus terpadu UMY. Pertunjukan itu menampilkan dua monolog dengan judul “On Se Raconte” oleh Rahmat ‘Jack’ Jakadril dan “Sttt Diam!” dibawakan oleh Ikhwan Mutaqien.

On Se Raconte, bercerita tentang kehidupan seseorang yang berubah secara drastis berkat mimpi-mimpinya yang tak kenal kata ‘batas’. Sang aktor menuturkan cerita tentang Wikan, seorang teman di masa kuliahnya yang tiap saat kerjanya bersantai di kantin dan tidur bermalas-malasan di kamar. Namun begitu, Wikan adalah seorang yang punya pendirian kuat. Singkat cerita, saat ini si aktor sedang berada di Paris melakukan tugas sebagai wartawan. Dia sedang menunggu di sebuah taman untuk bertemu Wikan, sahabat lamanya. Wikan sendiri diceritakan berada di Paris untuk menggelar pertunjukan teaternya. Sang aktor tak habis pikir dan penonton seperti saya pun bertanya-tanya: ‘kok bisa orang pemalas seperti Wikan berkarir sampai ke Paris?’

On Se Raconte. Foto: Maulana Syarif

Di Paris inilah cerita monolog itu bermulai. Set yang didesain oleh M. Habib Syaifullah menyerupai yang biasa kita lihat di berbagai film Eropa yakni sebuah taman dengan kursi kayu berhias ornamen besi ukir di beberapa bagian kursi bersebelahan dengan pohon kayu kecil tanpa daun yang dengan segera mengesankan musim semi, serta sebuah lampu taman di belakang kursi kayu sebagai pemanis interior. Di bagian lighting, Dhinar Aryo Wicaksono memperkuat suasana adegan sang aktor mengenang Wikan dengan cahaya redup. Alunan musik yang diatur oleh Suprapto Setyo Utomo membuat para penonton seakan terhipnotis, tak berpaling dari cerita naskah yang disusun oleh Teater Tangga dan disutradarai oleh Septian Nur Yekti ini.

Dalam monolog Sttt Diam! Ikhwan dengan kostum jas bercorak hijau ramai dan properti box dorong yang mengingatkan penonton pada box yang sering dibawa oleh penjual obat di pasar tradisional. Namun box yang dibawa aktor ini penuh dengan hiasan gambar bibir dan bermacam quote seperti ‘Sttt…Diam!’, ‘caleg’, ‘korup’, dll. Di tengah panggung ditempatkan sebuah kursi yang dipergunakan aktor sebagai tempat untuk bercerita. Tata panggung digarap oleh Suprapto Setyo Utomo. Pertunjukan diawali dengan masuknya aktor mendorong box diiringi musik arahan Rifqi Mansur Maya. Ia melangkah dengan tegap penuh percaya diri, berkeliling satu kali dan kemudian meletakkan box tersebut tepat di samping kursi yang ada di tengah panggung, maju perlahan ke arah penonton sembari membuka pertunjukannya dengan lagak mirip pembawa acara talk show di televisi dengan berkata: ‘selamat malam Yogyakarta!’.

Sttt Diam. Foto: Darpita Jiwandana

Cerita yang diangkat dari karya Giri Ratomo dan disutradarai oleh Siti Fauziah ini berkisah tentang begitu banyaknya larangan di sekitar kita untuk melakukan ini dan itu, serta banyaknya anjuran yang mirip paksaan untuk melakukan ini dan itu, sementara apa yang kita inginkan tak digubris. ‘Lantas untuk apa kita hidup jika pilihan untuk diri sendiri musti berasal dari orang lain? Untuk apa pengalaman dan pelajaran yang kita dapatkan dan kemudian direalisasikan lewat karya? Mengapa pula musti ada begitu banyak larangan jikalau kita tahu dan mengerti arti tanggung jawab?’ Kira-kira inilah menurut saya apa yang ingin disampaikan oleh monolog Sttt Diam!

Satu hal yang menurut saya menjadi benang merah dari kedua cerita dalam pertunjukan “Imagined Lifess” adalah perihal mimpi. Pertama On Se Raconte yang bercerita tentang seseorang yang berhasil menggapai mimpi yang semula diragukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Yah hidup manusia siapa yang tahu dan kadangkala kemujuran membuat manusia semakin percaya jikalau Yang Maha Kuasa itu memang benar-benar ada. Sedangkan Sttt Diam! bercerita tentang mimpi yang terbelenggu bermacam aturan. Apa jadinya jika mimpi saja dilarang? Untungnya sampai saat ini mimpi belum dilarang dan masih belum ada alat canggih yang mampu menyensor mimpi-mimpi kita. Maka, bermimpilah setinggi mungkin selagi masih bisa.

* M. Iwan M, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(terbit di skAnA volume 12, Mei-September 2010)

Next Page »