Oleh : Andy Sri Wahyudi

Tepat pukul 20:00 WIB pada tanggal 23 Juli 2010 di ruang perpustakaan Bengkel Mime Theatre, ada sebuah  pementasan mini dengan penonton 15 orang. Rendra Bagus Pamungkas, aktor yang aktif di komunitas Seni Teku dan Teater Gandrik Muda menggelar pentas monolog berjudul Et Urinoir. Dalam ruang berukuran 6 x 4 meter tersebut, area yang digunakan sebagai panggung pementasan hanya 2 x 4 meter. Kecil dan sempit memang, akan tetapi aktor tampak bebas bermain dalam ruang tersebut.

Panggung yang semula adalah ruang berdinding batu bata, beratap anyaman kulit bambu, berjendela, dan berpintu itu ditutup dengan kardus yang dicat warna hitam. Di atas warna hitam itu ditempelkan kubus, bujur sangkar, persegi panjang, dan kerucut warna-warni sehingga tampak tonjolan-tonjolan yang menghidupkan ruang gelap tersebut. Pada dinding di sisi belakang penonton dilukis sebuah gambar sayap malaikat berwarna pink. Pada lantai juga diletakkan kubus-kubus berwarna hijau yang tersebar acak. Ruang kecil itu berubah menjadi dunia fantasi yang berpenghuni mahkluk aneh: manusia berkulit putih sapi, berpakaian daster dengan bawahan lebar, berkepala botak ―hanya menyisakan rambut belakang yang dikepang dua panjang, kaku mencuat ke samping kanan dan kiri.

Rendra Bagus Pamungkas dalam Et Urinoir

Tokoh dalam Et Urinoir tak jelas jenis kelaminnya; ia semacam gambaran potret diri yang tengah mencari identitas hidupnya. Ia bercerita perihal perjalanan yang tak kunjung selesai dan menemui banyak pertanyaan dalam hidupnya. Ia begitu kesepian dalam perjalanan meski bertemu dengan banyak hal yang aneh: Angin Merah Jambu, Tomat Sombong, dan Paman Gajah. Pertemuan itu adalah gambaran kebingungannya sendiri, ia seperti dihadapkan dengan simbol-simbol hidup yang meresahkan.

Teks cerita ditulis dengan imajinasi yang atraktif:

Aku hanya ingin bertanya tentang angin merah jambu di sepetak tanah kecil dan apa yang sedang mereka bicarakan.

Tahukah kau berapa jumlah jari-jariku, kenapa perutku menjadi buncit? Tahukah kau mengapa aku mengambang di atas teratai? Dan tahukah kau mengapa aku tak pernah tergelincir meski aku berjalan di atas bola yang terbuat dari kulit pisang?

Begitulah sepenggal percakapan yang kerap diulang tanpa kepastian ujung. Kepastian yang masih dirahasia. Yapz! seperti judulnya , Et Urinoir―yang artinya tempat untuk buang air kecil―dimaknai sebagai dunia kecil yang sangat rahasia, hanya kita yang tahu.

Lahirnya Ruang dan Musik

Tim kerja dalam pementasan Et Urinoir ini tidak banyak, hanya terdiri dari Rendra Bagus Pamungkas sebagai penulis teks sekaligus pemain, Miftaqul Effendi dan Dino sebagai penata setting, dan Lintang sebagai penata musik. Awalnya, Rendra mengajukan teks kepada penata setting dan penata musik, dan dari pembacaan itu muncul imajinasi ruang dan musik. Miftaqul Effendi mengemukakan gagasan ruang kecil dengan ornamen-ornamen bangun matematika. Visual set panggung terinspirasi dari teks yang atraktif dan kekanakan yang kemudian diwujudkan menjadi ruang fantasi yang dasar idenya adalah ruang yang melawan gravitasi. Tak ada batas antara atap, lantai, dan dinding; semua berisi ornamen yang setipe. Sejujurnya imajinasi ruang tersebut menghendaki pemain menginjakkan kakinya di mana saja.

Musik turut berperan dalam mewujudkan dunia baru yang dikehendaki teks. Lintang menggunakan musik “Chiptune”, mirip bunyi dalam game Nitendo, yang diperdengarkan sesekali. Lintang menghadirkan musik dengan volume yang tidak melulu keras namun kadang lirih, sehingga permainan menjadi berirama. Ruang kecil itu semakin kuat membangkitkan imaji dunia fantasi ketika berpadu dengan musik. Untuk menambah kuat kesan fantasi pada pementasan ini, penonton yang hadir dihadiahi sebatang  permen lolipop dari gulali dan kacamata tiga dimensi.

Sementara sebagai aktor, Rendra berusaha memacu imajinasinya untuk memaksimalkan gerak tubuh tanpa harus mengada-ada. Ia ingin berakting secara natural, akan tetapi di lain sisi permainannya justru membuat ruang menjadi terasa tidak wajar, lantaran ia lebih banyak mengeksplor gerak tetapi tidak mencoba merespon ruang yang berornamen itu. Ruang seolah hanya menjadi dekorasi atau hiasan permainan, ia seperti  terkurung dalam sangkar yang fantastis .

Pementasan Et Urinoir adalah suguhan karya yang berupaya mensinergikan antara akting, musik, dan ruang. “Apapun yang terjadi, karya ini akan terus saya eksplorasi”, begitu kata Rendra.

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)

Komentara Penonton:

Pementasan Et Urinoir ini menurut saya masih merupakan sebuah pemanasan dari sebuah perjalanan panjang keaktoran seorang Rendra. Kalau Rendra bisa dengan cerdik menggali lebih banyak lagi referensi pemanggungan sebagai bentuk pementasan, lakon ini akan berkembang. Dan hal itulah yang akan dinantikan oleh banyak orang. (Giras Basuwondo, 30 tahun, pekerja film)

Sebuah “proyek penghadiran”  mimpi dan imajinasi yang sangat tekun. Di sini saya kira tidak perlu ada perbantahan tentang  letak kata-kata yang tepat. Semua indah dan nikmat dalam ruang imajinatif. (Franz, 35 tahun, fotografer)

Latar panggung bagus tapi ada satu bagian yang ceritanya mubeng ga bisa ngembang… tapi secara keseluruhan apik karena ceritanya tidak terbata-bata. (Dhisga Amandatya, 16 tahun, pelajar SMP Imaculata)

Oleh: Afrizal Malna*

Mime, teater, dan tari berusaha dipertemukan. Manusia yang terbuat dari penggorengan, berusaha merebut seorang putri yang terbuat dari embun. Cerita dibiarkan berjalan sederhana, tanpa strategi menjadikannya narasi baru atau narasi yang rusak. Cerita diperlakukan hanya sebagai tulang punggung pertunjukan: sederhana, klasik, sudah dikenal kebanyakan penonton. Cerita yang tidak berbeda jauh dari kisah Ramayana.

Bengkel Mime Theatre, dalam pertunjukan mereka: Putri Embun Pangeran Bintang, Epos Mini Perkakas Rumah Tangga (29-30 Mei 2010, Taman Budaya Yogyakarta), memang melakukan strategi teks seperti ini (teks digunakan hanya sebagai alur pertunjukan berdasarkan cerita yang sudah dikenal).

Perabotan yang Menculik Cinta

Ketika narasi hanya digunakan sebagai kerangka pertunjukan, tidak dibunuh atau dirusak (dari praktek kebosanan atas cerita maupun kebencian terhadap tokoh dalam cerita), maka struktur dibiarkan seperti “kereta paman Bobo” yang berjalan mengelilingi taman. Taman itu adalah taman bintang-bintang (tempat tinggal Pangeran Bintang, diperankan Ari Dwianto) dan rembulan yang sedang flu, selalu bersin-bersin (diperankan Hindra Setyarini).

Yang dihadapi oleh mahluk angkasa ini, adalah sesuatu yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. Yaitu munculnya mahluk-mahluk yang terbuat dari perabotan rumah tangga yang tiba-tiba mengusik ketentraman mereka. Mahluk-mahluk yang terbuat dari perabotan rumah tangga ini muncul sejak Pangeran Bintang memadu cinta dengan Putri Embun (diperankan Eka Nusa Pratiwi). Tetapi ada mahluk dari perabotan lain yang membela Pangeran Bintang, yaitu kakek-nenek yang terbuat dari meja dan kursi (diperankan Ficky Tri Sanjaya dan Nunung Deni Puspitasari); mahluk yang terbuat dari piring-piring plastik, sendok dan garpu (diperankan Yuniawan Setyadi); serta mahluk yang terbuat dari sekumpulan panci (diperankan Bagus Taufiqurahman).

Nenek Kursi dan Kakek Meja. Foto: Afrizal Malna

Biang kerok dari keributan yang terjadi di taman bintang-bintang itu, adalah munculnya mahluk yang terbuat dari penggorengan (diperankan Asita) dengan gerombolannya: anjing besi diperankan Febrinawan, prajurit terbuat dari kaleng kerupuk dan drum plastik (diperankan Ahmad Jalidu dan Ficky). Gerombolan ini berusaha merebut Putri Embun dari Pangeran Bintang. Maka bintang-bintang kemudian harus berhadapan dengan gerombolan yang terbuat dari perabotan rumah tangga. Perabotan seakan-akan bergerak dan berperang untuk menculik cinta.

Distraksi Perabotan

Andy Sri Wahyudi, sutradara pertunjukan ini, maupun Beni Siswo Wardoyo (artistik), tidak memaknai perabotan rumah tangga yang mereka gunakan dalam kerangka ideologis. Perabotan itu hanya dilihat sebagai bentuk visual. Tidak menyertai lingkungan teks dari masing-masing perabotan yang berbeda satu sama lainnya (bulan dari sekumpulan tampah, figurasi lain dari kaleng kerupuk, gantungan baju, panci, penggorengan, pipa penyedot air, saringan air plastik, piring plastik, drum plastik, lap tangan, baskom plastik, dan seterusnya beberapa figur mengenakan lampu kerlap-kerlip.

Seluruh perabotan tersebut mengalami distraksi, dialihkan dari fungsi dan karakternya. Yang diapresiasi hanyalah bentuk dari masing-masing perabotan untuk menggantikan anatomi aktor. Maka gerak dan gestur aktor sangat ditentukan oleh perabotan yang digunakan dan bagaimana perabotan itu dikoneksikan ke tubuh aktor. Hasilnya: perabotan itu tidak hanya menjadi kostum untuk aktor, tetapi juga menjadi bangunan yang menggantikan tubuh aktor. Perabotan itu menjadi arsitektur baru untuk tubuh aktor.

Asita memerankan Pangeran Wajan

Penggunaan perabotan seperti ini tidak hanya menghasilkan distraksi atas lingkungan narasi di sekitar perabotan, melainkan juga menghasilkan distraksi sekaligus terhadap tubuh aktor. Fungsinya: melakukan semacam penggemparan imajinasi terhadap realitas pertama dari perabotan dan tubuh aktor. Medan imajinasi kemudian terbuka untuk memasuki narasi yang dibebaskan dari grafitasi logika. Sayangnya desain lighting dan musik, tidak cukup mendukung terciptanya ruang untuk narasi yang dibebaskan dari grafitasi logika ini.

Tarian Penggorengan Bolong

Pertunjukan menggunakan tiga ruang dengan konsep yang berbeda, walau menggunakan perabotan yang sama. Ruang pertama berlangsung di halaman gedung pertunjukan. Di ruang ini, perabotan diperlakukan sebagaimana biasanya: penggorengan untuk masak, baskom untuk mencuci, mixer untuk membuat juice. Semuanya berlangsung di antara suara reporter bola yang menyiarkan sebuah pertandingan bola menggunakan megaphone.

Adegan di halaman gedung pertunjukan

Situasi yang menggambarkan realitas pertama dari perabotan rumah tangga ini, mulai mengalami distorsi dengan munculnya tarian penggorengan bolong yang dilakukan Eka, tarian meja dan kursi oleh Ficky dan Nunung (koreografi, Ari Dwianto).

Ruang kedua dibuka di loby ruang pertunjukan. Dalam ruang ini, aktor dan perabotan hadir seperti sebuah fashion: perkenalan pertama untuk memasuki ruang pertunjukan. Kereta yang terbuat dari meja dan kursi juga mulai berkeliling membawa aktor-aktor yang akan pentas. Lalu mahluk yang terbuat dari penggorengan dan anjing besi, dengan lampu kerlap-kerlip memenuhi bangunan tubuh mereka, mulai menggiring penonton memasuki ruang pertunjukan. Maka perayaan atas imajinasi mulai dilakukan di panggung pertunjukan mereka.

Sayatan Atas Struktur

Menggunakan cerita klasik hanya sebagai tulang punggung pertunjukan, lalu orientasi pertunjukan diarahkan kepada pencapaian ruang gerak imajinasi seluas-luasnya, ternyata tidak mudah. Perabotan itu, walaupun memang didistraksi dari lingkungan fungsinya, tetap merupakan benda-benda yang kita kenal. Narasi yang melekat pada fungsinya, tetap menghasilkan negosiasi yang bimbang antara apa yang terjadi di atas pentas, dengan pengalaman penonton terhadap perabotan itu.

Cerita sebagai tulang punggung pertunjukan, lantas berisiko ikut memiskinkan tumbuhnya ruang imajinasi antara dunia bintang-bintang dan perabotan rumah tangga. Andy berusaha mengatasi risiko ini dengan melakukan sayatan-sayatan atas alur pertunjukan yang berlangsung. Ketika Pangeran Bintang sedang bertarung dengan manusia penggorengan, misalnya, tiba-tiba muncul seorang ibu (diperankan Nunung) yang mengejar anaknya (diperankan Megatruh), berteriak-teriak menyuruh anaknya pulang. Ketika adegan sayatan ini berlangsung, adegan sebelumnya segera dibekukan, seperti potret kaku. Setelah adegan ibu dan anak usai, adegan sebelumnya kembali bergerak.

Epos mini tentang perabotan rumah tangga ini, akhirnya memang sebuah upacara yang merayakan kebebasan imajinasi. Imajinasi untuk mengatakan tentang sebuah galaksi di dalam dapur kita sendiri. Dan kita tidak tahu: mungkin setiap hari ada yang berperang dalam dapur rumah tangga kita.

Yogyakarta, 2 Juni 2010

* Afrizal Malna, penyair, tinggal di Nitiprayan Yogyakarta

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)

Tim Kerja:

Pimpinan produksi: Andy Sri Wahyudi/ Staf Produksi: M. Ahmad Jallidu dan Eva Mutiara/ Sutradara: Andy Sri Wahyudi/ Aktor: Ari Dwianto, Asita, Ficky Tri Sanjaya, Yuniawan Setyadi, M. Ahmad Jalidu, Eka Hindra Setyarini, Febrinawan, Eka Nusa Pratiwi, Nunung Deni Puspitasari, Megatruh, BAgus Taufiqurahman/ Musik: Ari Wulu/ Lampu: Sugeng Utomo/ Aristik: Beni Siswo Wardoyo/ Penata Teks: Wahmuji

Komentar penonton:

Menurut saya pentas ini bentuk inovasi baru yang mengemas pantomim dengan gaya baru. Ide yang fresh, dengan ‘memberi nyawa’ terhadap perkakas yang selama ini setia dalam keseharian kita. Meskipun alurnya/ tema sangat biasa namun pertunjukan ini cukup menarik dan mengundang decak kagum. Kelemahan sangat terasa pada sound atau musik. Sebenarnya itu fatal tetapi tertolong dengan konsep kostum yang indah dan unik. Saya senang! Pertunjukan yang beda dan mengesankan. (Asih, 24 tahun, Bekerja di Perusahaan Swasta. PT Milennium PF. Financial Consultant)

Pentasnya critane lucu dan kostumnya keren. Jadi serasa nonton film Holywood. (Mohamad Nur Komarudin, usia 25 Tahun, Aktor Muda Jogja)

Pentasnya seru n banyak pernak-pernik, adegan di lobi sangat menarik, adegan di dalam panggung (sedikit) menguji ketahanan dalam duduk penonton. (Darmanto, Pekerja Seni )

Menurut aku pentas Bengkel kemarin adalah mimpi masa kecilku yang jadi kenyataan. Aku kangen masa-masa itu. Terima kasih sudah menghadirkan sesuatu yang lama hilang di hidupku. (Ucog Lubis, Aktor)

Oleh: Hindra Setya Rini*

Kembali, setelah pertunjukan Suspect (datangmu terlalu cepat) yang dipentaskan pada bulan Februari lalu di Lembaga Indonesia Perancis (LIP), Bengkel Mime Theatre menampilkan karya terbaru mereka yang berjudul Aku Malas Pulang ke Rumah. Dipentaskan di Gedung S2 ISI Yogyakarta, Jalan Suryodiningratan No:8, pada tanggal 23-24 Mei, dengan harga tiket masuk sepuluh ribu rupiah.

Berbeda dari repertoar-repertoar Bengkel Mime Theatre sebelumnya—ruang pertunjukan yang biasanya terkesan intim, penonton yang duduk lesehan, lalu jarak antara penonton dan penampil dekat— malam itu keintiman tersebut tidak terasa. Ruang prosenium S2 ISI yang terlalu besar, dan tatanan kursi yang rapi justru membuat jarak yang cukup lebar antara penampil dan penonton.

Tepat pukul 19.45 WIB, lampu panggung mulai meredup, pertunjukan dimulai; Tikus-tikus mencericit, gelapnya gorong-gorong, jalanan kota, adalah fragmen yang kembali muncul dalam pertunjukan kali ini. Kota yang selalu berubah digambarkan dengan munculnya aksi anak-anak muda di atas panggung. Mereka menghiasi—mencoret-coret, menghapus, mencoret lagi—dinding-dinding bangunan kota berwarna-warni. Sementara itu, musik easy listening yang berganti-ganti di setiap adegan pertunjukan terus menggema di seluruh ruangan.

Bukhori, seorang salesman (diperankan oleh Asita) yang menjadi tokoh utama dalam lakon ini. Ia bekerja setiap hari tanpa lelah untuk dapat menjual alat-alat rumah tangga yang dibawanya keliling kota. Bekerja gigih dari rumah ke rumah, aksi promosinya tak kalah heboh dari tukang penjual obat pinggir jalan. Bukhori hidup bersama seorang istri dan tiga orang anaknya, di sebuah rumah yang diimpikan seperti rumah orang kaya. Versinya; ruang tamu bersofa, televisi berwarna, dan berdiding tembok berhias potret keluarga. Ia bercita-cita hidup bahagia bersama keluarga tercinta di tengah kota.

Asita dan Andy SW

Tidak semua setting-properti dihadirkan di atas panggung, kecuali sebuah sofa dan sebuah meja yang kadang berubah posisinya. Seperti televisi dan potret keluarga, hanya diimajikan lewat gerak mime para aktor.  Di beberapa adegan, gerak mime tersebut tak pelak membuat penonton tergelak. Adegan di ruang tamu, misalnya, antara Bukhori dan istri; ketika terjadi pertengkaran hebat, mereka tiba-tiba berubah menjadi dua ekor kucing yang saling mengerang dan mencakar. Juga dalam adegan romantisme pacaran, dan kehangatan keluarga saat menonton teve bersama anak-anak tercinta.

Selain itu, perihal impian akan masa depan yang sejahtera divisualkan dengan lintasan-lintasan kursi yang di atasnya membawa berbagai properti seperti laptop, sepatu pesta/ high heelsmicrowave, dan lain-lain.

Pertunjukan berdurasi sekitar lima puluh menit itu berjalan lancar. Sayangnya, suara musik band yang diselenggarakan tak jauh dari gedung pertunjukan terdengar agak kencang dan sedikit menggangu kenyamanan dalam menonton. Meskipun demikian, penonton yang berjumlah sekitar 130 orang pada malam kedua itu tak ada yang terlihat beranjak meninggalkan tempatnya.

Malam itu, sehabis pertunjukan diadakan diskusi kecil yang dihadiri sekitar dua puluh lima orang. Diantaranya; para anggota Bengkel Mime Theatre, Pantomimer Jogja Jemek Supardi, penulis dan sutradara Teater Garasi Gunawan ‘Cindhil’ Maryanto, sutaradara Teater Gardanalla Joned Suryatmoko, dan beberapa penonton. Selaku pembicara adalah pengamat seni pertunjukan Ikun SK, pekerja sosial Ani Himawati,  dan dimoderatori oleh M. Jalidu dari Gamblank Musikal Teater. Diskusi ini membicarakan mengenai proses artistik maupun proses para aktor. Tentang ide/konsep, observasi, dan apa saja yang telah dilakukan hingga terjadi peristiwa di panggung, di-sharing-kan di sini.

Sekilas Profil

Bengkel Mime Theatre adalah kelompok kesenian yang dirintis pada tanggal 2 Mei 2004. Semula bernama Bengkel Pantomim Yogyakarta. Kemudian berganti nama menjadi Bengkel Mime Theatre pada tanggal 10 november 2007.

Merupakan kelompok kesenian yang menggeluti seni pertunjukan berbasis pantomime. Dengan membaca seni pantomim dari pendekatan wacana seni dan pengetahuan di luar pantomim, untuk membuka tawaran bentuk, menguatkan isi dan nilai artistik karya. Selama kurun waktu empat tahun ini, telah menghasilkan sembilan judul karya, yang salah satunya berupa kumpulan komik dengan judul “Bengkel Mime dalam Komik” yang merujuk naskah Langkah-langkah, Three Little Duck, dan Superyanto.

* Hindra Setya Rini, reporter skAnA, aktor Teater Garasi

(terbit di skAnA volume 07, Juli – November 2008)

*****

Kerabat Kerja

Sutradara Ari Dwianto Penata Artistik Pingky Ayako Saputro Kru Artistik Tingkir Adi Susanto, Domex, dan Sugeng Pribadi Aktor Asita, Ficky Tri Sanjaya, Edi Suharto, Hambar ‘Gigon’ Riyadi, Andy SW, Ari Dwianto Musik Ishari Sahida Penata Cahaya Sugeng Hutomo, Budi, Jody Penata Kostum Yuni Wahyuning Penulis Teks cerita Andy Sri Wahyudi Pimpinan Produksi Endah Sri Wahyu Handayani Divisi Konsumsi Ficky, Hambar Riyadi, Meme Dok. Foto Arif Sukardono Dok. Video Dion & partner Ticketing Bakti. W Penjaga Pintu Erson Padiparan, Ronald Pasolang

Komentar Penonton

“Secara garis besar, saya bisa menikmati pertunjukan itu, walau agak terganggu dengan mekanisme lampu dan sound effect dan musik yang sepertinya kurang lancar. Atau mungkin ada yang luput ya? Lalu, karena selama ini saya nonton pentas-pentasnya Bengkel Mime hampir selalu isu sosial diangkat, saya pengin lihat Bengkel Mime sekali waktu mementaskannya juga di luar panggunga yang dekat dengan pelaku peristiwa yang sesungguhnya. Misalnya: pasarm area perkantoran pas jamnya karyawan pulang kantor, dan tempat-tempat lain yang lebih dekat dengan orang dan peristiwa yang sedang dilakonkan. Mari terus membuat kehidupan ini menjadi lebih baik, he……” (Fransiska Haloho, 25 tahun, penikmat seni pertunjukan)

“Artistiknya aku suka. Itu lho yang melintas keluar masuk dan setting yang bisa berubah cepat dan mobile. Hmmm, untuk pilihan nggak pake make up putih itu sih aku setuju aja, tapi sayang ekspresi aktornya masih kurang banget. Cuma pemeran utamanya aja yang kuat. Menurutku, kalau gak pake make up ala pantomimer kebanyakan itu, mestinya ekspresi wajahnya lebih keluar. Ke depan lebih dimaksimalkan lagi aja. Untuk semangat mudanya, aku salut, deh.” (Broto, 32 tahun, Deaf Art Community)

“Pertunjukannya lucu. Huuw…., banyak lelaki cantik! Hahaha…. Emm, aku suka musiknya terus waktu adegan mimpi, yang kursi melintas-lintas bawa laptop, sepatu dan macem-macem itu pas, menurutku. Ya, jadi kebawa ngimpi juga. Hehehe….” (Iyut, 19 tahun, Mahasiswi Sanata Dharma)

Oleh: Muhammad A.B*

Enam kursi lipat ditata tidak beraturan di dalam panggung, enam orang duduk di atasnya dengan pakaian seperti yang dikenakan pasien di rumah sakit. Keenamnya menunjukkan gejala-gejala tubuh yang bergerak di luar kontrol. Sakit? Tubuh mereka seperti lunglai dan lemas, bersandar di kursinya masing-masing. Ada yang menampari wajahnya sendiri, ada yang seperti berusaha meraih sesuatu di depannya dengan tangan, seseorang tiba-tiba berdiri dan segera duduk lagi. Lalu musik mulai berdentum seiring mereka berdiri dan berjalan dengan gejala tubuh yang aneh. Perlahan-lahan bentuk tubuh mereka berubah seperti seekor tikus, lalu berlarian pergi membawa kursi.

Itulah fragmen awal dari pertunjukan Suspect: datangmu terlalu cepat yang dibawakan Bengkel Mime Theater pada tanggal 8-9 Februari 2008 di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta. Bagi Bengkel Mime Theater, ini adalah pertunjukan pertama mereka setelah satu tahun absen dari panggung pertunjukan. Meski cuaca tidak begitu baik selama dua hari pementasan, namun nampaknya hal itu tidak mempengaruhi minat penonton. Auditorium LIP selalu dipenuhi penonton dalam dua hari pertunjukan. Beberapa penonton bahkan terpaksa hanya dapat menunggu di luar karena kehabisan tempat.

Suspect merupakan karya yang merujuk pada karya pertama Bengkel Mime Theater: Langkah-Langkah, yang bertemakan tentang jalanan kota. Kemudian terjadi pengembangan ruang dan peristiwa yang terdiri dari kehidupan bawah tanah, Mall, aktivitas jalanan, dan supermarket.

Suspect menghadirkan fragmen-fragmen peristiwa yang berseliweran di atas panggung, tubuh-tubuh para aktor pantomim membawakan kisah-kisah mereka sendiri. Ada laki-laki pemabuk, ada pekerja salon, dan ada dua orang laki-laki yang berebut koran. Juga orang-orang yang berjalan tergesa hingga akhirnya saling bertubrukan lantas terjadi perkelahian.

Bengkel Mime Theater nampaknya ingin menghadirkan kota yang dinamis, lewat gerakan-gerakan dalam tempo tinggi serta musik yang berdentum cepat. Pertunjukan berayun dari satu sisi panggung ke sisi yang lain. Berlangsung dalam fragmen-fragmen yang tak saling berkaitan. Suspect tidak bercerita secara utuh mengenai satu hal.

Pertunjukan ini membawa kegelisahan para aktor Bengkel dalam melihat dan merasakan dinamika kota. Kegelisahan mereka nampaknya sampai pada kesimpulan, bahwa kota melahirkan orang-orang yang sakit dan tubuh yang gagap. Setidaknya itu yang terlihat dari cerita-cerita yang dibawakan tubuh mereka.

Tapi seperti repertoar sebelumnya—Rudy Goes to School, Tiga Bebek Kecil, dan SuperYanto—, mereka tidak pernah kehilangan selera humor. Seorang yang berpakaian seperti laiknya Batman dan seorang badut, dimainkan dengan apik oleh Andy SW dan Hambar Riyadi berhasil menjaga penonton untuk tidak bosan dengan cerita yang dibawakan tubuh aktor yang lain. Kedua karakter tadi memancing tawa penonton, tapi kemudian mereka malah membalas menertawai penonton. Membuat sebagian penonton terdiam tiba-tiba.

Setelah pertunjukan usai, penonton beranjak dari tempat duduknya masing-masing. Beberapa menyalami para awak Bengkel Mime Theater, ada beberapa yang lain mengajak foto bareng para aktor-aktornya. Yah, pertunjukan sudah berakhir, dan penonton bergerak keluar dari Auditorium LIP, kembali menghadapi kota Jogja yang gagap…

Bengkel Mime Theater = Bengkel Pantomim

Kalau teman-teman pernah membaca skAnA edisi 3 & 5, akan kalian temukan artikel yang menuliskan tentang Bengkel Pantomim. Nah, mulai pertunjukan Suspect kemarin, Bengkel Pantomim resmi meproklamirkan namanya yang baru: Bengkel Mime Theater. Hal ini berkaitan dengan pilihan jalur pertunjukan yang mereka geluti, mencari kemungkinan yang lebih luas dari pantomim, tanpa menghilangkan unsur  pantomim yang menjadi basisnya.

Nah, jadi jangan salah dan bingung dengan nama Bengkel Mime Theater. Kalau Shakespeare bilang “apalah arti sebuah nama?”, tapi bagi anak-anak Bengkel ternyata sangat berarti, paling tidak dengan nama yang baru ini mereka berharap mendapat lebih banyak hoki. Terbukti dengan nama baru ini mereka berencana menggelar pertunjukan di beberapa kota dalam waktu dekat ini.

*Muhammad AB, reporter skAnA, pernah aktif di Teater Gadjah Mada

(terbit di skAnA volume 06, April – Juli 2008)

Tim Kerja:

pimpinan produksi Endah Sri Wahyu Handayani staf produksi Hambar Riyadi perangkai gerak Ari “Inyong” Dwiyanto pewujud teks cerita Andy Sri Wahyudi penata  artistik Pingky Ayako Saputro & Sugeng “Klemin” Pribadi kru artistik Domexz stage manager Noviar Eka Putra penata musik Ari Wulu penata lampu “Bureq” Agus Salim make up & perancang kostum Asita pewujud kostum Yuni Wahyuning aktor Andy SW, Ari “Inyong” Dwianto, Asita, Bambang Nur Topo, Ficky Tri Sanjaya, Hambar Riyadi, Ronald Pasolang dokumentasi video Sugeng Utomo & Dion Durga dokumentasi foto Arief Sukardon

Komentar Penonton

“Tubuhnya keliatan kaku, ototnya kenceng dari awal sampai akhir. Kostumnya kurang warna-warni. Hidungnya gak kelihatan.” (Sigit Gembong, Pendiri Anak Wayang Indonesia, 40an tahun)

“Awal membingungkan jika ga baca liflet. Gerakan bersama nggak kompak. Beberapa gerakan kurang jelas, terlalu cepat, atau terlalu kecil. Gak keliatan. Terlalu banyak Gerr sehingga gak memperhatikan urutan adegan dan pesan yang disampaikan hanya sekedar potongan-potongan. Tidak ada alur ke puncak. Ending gak jelas.” (Dhika, 18 tahun, kelas 3 SMU)

“Kurang mengena dan musiknya kurang pas.” (Chichi, Mahasiswi UMY, Jurusan Komunikasi, semester 6 21 Tahun)

Ekspresinya kurang, jalan ceritanya kurang menggigit. Belum ketemu ciri khas bengkel. Hanya sekedar melakukan (teknis) aku lebih suka yang dulu-dulu coz Gerrr…yang ini ada penurunan. (Blembong, Pemuda kampung, 21 Tahun)