Oleh: Nanang Arizona*
Aku selalu gagal menceritakan pengalaman berharga tentang ruang. Mungkin karena pengalaman itu sangat personal. Mungkin pula karena pengalaman itu sulit diringkus dalam untaian kalimat. Ketika berbagai referensi tentang ruang kubaca, ternyata ruang memang sesuatu yang rumit untuk dirumuskan. Aristoteles, Einsten, Newton, dan Kant adalah orang-orang yang telah mengerutkan dahinya untuk merumuskan berbagai teori tentang ruang. Ruang tetaplah sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu, tulisan ini hanya lah sepenggal pengalaman yang tidak sepenuhnya utuh tentang ruang.
Aku memiliki hobi yang berbeda dengan beberapa teman teater. Saat teman-teman mulai berlatih teater, aku sering pergi diam-diam menyelinap masuk auditorium. Aku duduk menghadap stage yang kosong. Pada saat itulah aku membayangkan tentang berbagai kemungkinan tata artistik yang bisa muncul dalam stage kosong itu. Muncullah berbagai gambaran tentang bentuk tata artistik. Aku bisa duduk berjam-jam menyaksikan kelebatan-kelebatan visual yang sering berupa potongan gambar yang tumpang tindih, tetapi juga tidak jarang merupakan gambaran yang utuh.
Biasanya bayangan-bayangan itu mulai menyusun dirinya sendiri dengan berbagai kemungkinan bentuk dan susunan yang berbeda-beda. Jika bayangan itu telah tampil utuh, aku mulai menyusun bayangan baru. Aku coba membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Aku bayangkan bagaimana seandainya stage hanya berisi gantungan batu-batu. Aku bayangkan bagaimana jika air mengucur kemudian dihajar cahaya biru. Aku bayangkan bagaimana jika dinding panggung dan seluruh properti bercat putih dengan seorang pemain memakai kostum merah marun. Aku bayangkan apa saja yang mungkin bisa terjadi lengkap dengan keberadaan pemain-pemainnya. Aku juga membayangkan hal-hal yang sederhana, tentang susunan level, seberkas cahaya, seutas tali, dinding, kursi tua, pohon, dan sebagainya. Setiap bayangan berganti, aku mendapatkan sensasi yang berbeda. Setiap garis, bentuk, warna, dan unsur bayangan kuubah, maka berubah pula sensasi visual yang kudapatkan.
Ruang menuntunku untuk menjelajah berbagai benda. Mulai dari kayu, bambu, batu, besi, kertas, kaca, air, pasir, kawat berduri, daun, dan sebagainya. Mulai dari bentuknya yang bulat, runcing, segi tiga, bahkan bentuk tak beraturan. Mulai dari ukuran, warna, raut, dan teksturnya. Mulai dari kelenturannya, kegetasannya, kekuatannya, kerapuhannya. Mulai dari susunannya, komposisinya, ritmenya, dan sebagainya. Semuanya itu mampu memberi sensasi visual yang berbeda-beda.
Semua naskah yang kubaca telah kubayangkan bagaimana tata artistiknya. Itu juga aku lengkapi dengan ritual duduk berlama-lama di hadapan stage yang kosong. Sungguh menggairahkan. Bagiku, ruang memiliki daya sihir yang luar biasa. Luas ruang stage yang terbatas itu mampu menghadirkan berbagai karakter; kesunyian, keagungan, keceriaan, keterhimpitan, keterasingan, dan sebagainya. Bahkan hanya dengan tarikan garis, seberkas cahaya, atau noktah warna. Aku bisa mendapatkan berbagai karakteristik ruang.
Setiap pertunjukan sepertinya menuntut ruangnya sendiri. Ketika aku membaca End Game karya Samuel Beckett, misalnya, terbayang ruang yang menghimpit. Ruang di mana manusia dilemparkan dalam keterasingan. Maka yang muncul dalam bayangan adalah ruang dengan elemen-elemen yang berat, warna yang berat, teksur yang kasar, dan komposisi menghimpit yang mengantarkan pada kehampaan. Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap peristiwa teater menghendaki ruangnya sendiri. Kita tengok bagaimana orang-orang Yunani menggelar pertunjukan di ruang luas yang terbuka. Mereka menyikapinya sebagai upacara bersama seluruh warga yang disaksikan para dewa yang berada di langit.
Ketika realisme muncul, manusia tidak lagi percaya pada kekuatan dewa, maka ruang pertunjukan menyelinap dalam ruang tamu, kamar tidur, beranda, dapur, di mana persoalan antar individu muncul dan harus diselesaikan dengan kekuatannya sendiri. Maka realisme menghapus dinding-dinding yang menghalangi mata penonton untuk melihat ruang-ruang di mana konflik individu terjadi. Penghapusan dinding-dinding itulah yang melahirkan teori ”dinding ke empat” dalam realisme. Teater epik Bertolt Brecht juga membutuhkan ruangnya sendiri. Bagi Brecht, ruang pertunjukan ibarat ruang kelas di mana pelajaran diberikan. Teater adalah untuk membangun sikap kritis. Oleh karena itu, ruang pertunjukan teater epik menghadirkan slide, poster-poster, film yang memungkinkan dijadikan media membangun sikap kritis.
Semua itu meyakinkanku bahwa setiap pertunjukan teater memiliki karakteristik ruangnya sendiri. Setiap kali menciptakan ruang pertunjukan, aku dituntut untuk menghadirkan karakteristik itu. Dan yang biasa kulakukan sampai saat ini adalah berhubungan langsung dengan ruang itu. Berhadapan dengan ruang itu. Mengenali elemen-elemen yang melingkupinya. Jika aku harus membuat set di sungai, maka aku harus hadir di sungai itu. Mengetahui luasnya, kemiringan tebing-tebingnya, orientasi tumbuhnya pohon-pohon di sekitarnya, batu-batunya, dan sebagainya.
Kegemaranku duduk berlama-lama menghadap ruang pertunjukan masih kulakukan sampai saat ini. Sebagian yang pernah kubayangkan telah kuwujudkan. Dan aku harus selalu membangun bayangan-bayangan baru agar tidak mengulang menghadirkan bayangan yang lama. Rupanya, untuk membangun bayangan baru tidak mudah sebagaimana kubayangkan. Aku harus banyak melihat pertunjukan, melihat apa yang pernah diciptakan orang, melihat pameran, mencermati karya-karya arsitektur, dan membaca.
Jika set yang kubangun telah selesai, aku pun masih butuh duduk memandanginya. Membayangkan untuk menambah, mengurangi, menggeser, bahkan mungkin harus membongkarnya dan menyusunnya kembali. Toh ruang bisa kuhapuskan dan kubangun kembali. Benar yang dikatakan Lao Tzu, ”Meskipun tanah liat dapat dibentuk menjadi jambangan, tetapi arti sesungguhnya dari jambangan itu adalah kekosongan yang terkandung dalam jambangan itu sendiri. Jika jambangan itu pecah, maka ruang itu lenyap pula”. Maka, upaya menambah, mengurangi, menggeser, bahkan membongkar itu adalah upaya untuk menemukan kekosongan itu.
Penggalan pengalaman yang kusampaikan ini tidak utuh benar sebagaimana kualami. Kisahku menyusun ruang pertunjukan ini adalah cara jadul yang tidak harus diikuti. Kau pasti punya cara sendiri untuk menghadirkan ruang pertunjukan.
* Nanang Arizona, dosen artistik jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta