November 2007


Oleh: Andy Sri Wahyudi*

Saya tidak tahu, siapa Laki-laki Terindah itu?

Dia datang dan bercerita panjang lebar tentang masa lalunya, lantas pergi begitu saja. Cuek dan percaya diri, tak peduli siapa yang akan mendengarkan ceritanya. Dia bercerita dengan santai, seperti tak mengharap kesan dan tepuk tangan dari penontonnya. Kemasan panggung dan gaya berceritanya sederhana, tidak terlampau mewah dan tidak terlalu miskin. Suasana yang disuguhkan mengasyikkan dan komunikatif, seperti melihat acara talk show di tv-tv. Renyah dalam mencipta suasana. Dia juga tidak membuatku tertegun dan berusaha mencari-cari makna, pesan moral ataupun konsep dalam sebuah peristiwa pementasan.

Di bar itu ada properti kursi, gitar, stage mixe dan lilin-lilin menyala disamping ruang tempat dia bercerita. Awal

Alex Suhendra

kedatangannya tak begitu mengejutkan, bahkan cenderung asyik sendiri. Mengenakan celana panjang coklat, bersepatu hitam dan baju putih. Dengan gaya bicara yang feminim dan agak cedal, dia membuka cerita sambil membuat minuman, melayani dirinya sendiri. Kemudian diambilnya sebuah gitar, duduk, memainkan musik blues dan bernyanyi. Sayang, aku lupa dengan syair lagunya.

Dia bercerita tanpa beban, seolah hanyalah peristiwa biasa yang enggan didengar. Cerita berlatar kota metropolis yang berjejalan manusia dan kisah-kisah yang jarang terungkap. Dia menjadi bagian di dalamnya. Seorang lelaki playboy yang penuh lika-liku petualangan seks dengan wanita. Entah apa yang melatarbelakangi perjalanan hidupnya, hingga suatu ketika di sebuah salon dia bertemu seorang lelaki pekerja salon yang mencoba mendekatinya. Dia menolak kelancangan lelaki itu. Namun seiring berjalannya waktu, dari pertemuan itu mereka saling mengenal, berkencan dan hidup serumah meski dengan jalan sembunyi-sembunyi. Namun tak seindah yang dibayangkan. Petualangannya tidak berhenti dengan laki-laki itu, dia kepergok saat kencan dengan pacar wanitanya. Pertengkaranpun terjadi dan hubungan mereka terputus. Dikabarkan pasangannya bunuh diri. Ternyata salah, dia telah beralih profesi.

Sampai disini penonton yang pernah membaca cerpen “Lelaki Terindah”-nya Seno Gumira Ajidarma akan kecele,  karena di akhir pertunjukan menjadi jelas bahwa Alex sebenarnya tidak setia pada teks cerpen Seno yang menggunakan sudut pandang penceritaan si lelaki playboy. Malam itu Alex bercerita sebagai lelaki pekerja salon yang kini sudah berganti profesi menjadi seorang pencerita di sebuah bar, menghibur para pengunjung yang dating.

Sebuah pementasan monolog yang enerjik dan simpel. Mengangkat kisah cinta sesama jenis yang masih tabu di tengah masyarakat kita, dalam kemasan yang segar.

Kubiarkan diriku terapung-apung di permukaan cerita, tak ada kesan mendalam bersandar di benakku setelah 45 menit berlalu, kecuali senyuman manis dan kubiarkan dia indah begitu saja.

Di Balik Wajah Laki-laki Terindah

Alex Suhendra, lelaki mungil kelahiran Cirebon 10 November 1984. Pernah bergiat di Teater Malam, Teater Sekrup, Gamblank Musikal Teater (GMT) dan program Actor Studio Teater Garasi, akhirnya memilih one man show. Dia memilih cerita ringan, yang berupa buku harian. Diangkat dari cerpen Seno Gumira Ajidarma yang diadaptasi dengan judul yang sama. Katanya, selain terbatasnya naskah monolog, anak muda jaman sekarang malas mendengar tema-tema politik karena sudah ada di televisi dan bukan makanan anak muda jaman sekarang yang lebih tertarik pada fashion, gaya hidup konsumtif dan dimanja teknologi. Dia terinpirasi one stand comedy, kemudian menjadi pemicu pentasnya yang bersifat one stand tragedy.

Maka “Laki-Laki Terindah” dipilihnya sebagai hiburan alternatif. Dia ingin iklim teater seperti musik band dan seperti layaknya menonton sinetron. Menghibur, mudah dipahami dan tidak berat.  Setidaknya ada kontribusi di sela-sela kepenatan rutinitas. Adakah hal lain dalam dirinya yang dibesarkan dalam lingkungan religius itu, mengapa ia memilih “Laki-Laki Terindah”?

Pertunjukan tanggal 6 dan 8 September di Ruangan F, Museum Benteng Vredeburg itu, dihadiri belasan penonton. Pas dan sesuai setting panggungnya yang berupa bar atau café kecil. Tempat senggang melepas lelah.

*Andy Sri Wahyudi, reporter skAnA, aktor dan sutradara Bengkel Mime Theatre

(terbit di skAnA volume 05, November 2007-Maret 2008)

*****


Sutradara dan Aktor: Alex Suhendra Pimpinan Produksi: Guntur Kru Panggung: Antok, Qi-mung, Zi, Sutris, Buncis, Nugie dan Qomar Antah Berantah.

Komentar Penonton

Aku suka, tapi sayang sekali pertunjukan sebagus ini kok penontonnya sedikit, publikasinya gimana sih itu? Keromantisan itu kok ga muncul ya? (Asita, komikus dan Aktor Bengkel Pantomim)

Yang keren itu suaranya manteb dan dia kayaknya natural banget. Keren. (Robert UGM, Jurusan Antropologi, semester satu, 20 tahun)

Bagus sih, tapi menurut saya publikasinya kurang. Kalau masalah teaternya sendiri bagus dalam penjiwaannya. Sudah bisa membawa penonton ke situasi yang dia inginkan. (Vicky, Semester satu Fakultas Pertunjukan, ISI, 20 Tahun)

Aku suka pentasnya, seger. Cuma ada beberapa saat ketika dia mencampur dialog dengan petikan gitarnya itu, yang agak mengganggu gitu lho. Ini ngapain sih ngomong…cereret greng! cereret greng! (menirukan suara petikan gitarnya Alex) udahlah, udahlah! itu aja sih yang ganggu, tapi secara keseluruhan dia oke, membangun ritmenya asyik. (Galuh Asti Wulandari, Tata Usaha (TU) Teater Garasi, 30 Tahun)

Bagus. Aku tuh dengan beberapa teman, sedang mencari stand up act – comedian, jadi orang yang bermodalkan hanya mixe dan bertutur, baik dikonsep atau tidak. Mau ta ajak Band-band-an. (Rizky Summerbee, Musisi, 36 Tahun)

Bagus, cuma produksinya aja yang tidak mendukung jadi eman-eman. (Erytrina Baskorowati, Aktor Teater Garasi, 32 Tahun)

Oleh: Abd. Razak Abadi *

Bermain apa dulu? Teater apa aja. Nikmati aja dulu. Poin pentingnya di sini. Sebab agaknya sulit jika menyinggung hal-hal besar tentang teater seperti produksi, artistik, dan lainnya tetapi kita lupa hal yang paling sederhana: bermain. Wajar atau tidak teknik bermainnya, ada aturannya tersendiri. Paling tidak mata penonton lebih cerdas dari yang kita duga sebelumnya.

Jika aturan itu mungkin membuat orang malas mendalami, ya biar saja. Tiap orang punya metode berbeda. Setidaknya, saya tidak berupaya mendedahkan persoalan dengan sesuatu yang rumit. Kadang-kadang bermain itu justru aturannya dibuat sendiri oleh yang bersangkutan. Setelah ramai dan menarik, barulah aturan pasti disepakati.

Begini, tanggal 9 Juli 2007 lalu, Singo Wakako, sutradara Star House Jepang mengadakan workshop di Kedai Kebun Forum. Workshop yang sederhana tapi mengasyikkan: bermain tali. Ingatan kita kembali ke permainan-permainan masa kecil. Namun di balik itu, Singo mengharapkan kerjasama kolektif sederhana yang tentu saja teater tidak menafikan itu. Bukankah dalam permainan itu ada pertukaran budaya yang pelan-pelan terasa juga pertukaran pengalaman batin? Lebih dari itu, hubungan emosional dan bentuk kerjasama yang tidak banyak membuat alis menyatu rapat. Tiap peserta punya referensi sendiri, keberagaman, dan pengalaman yang berbeda. Justru inilah uniknya. Masing-masing kepala punya problem yang mesti dia dedahkan sendiri dalam pencapaian karya kreatif berikutnya.

Patut dicatat, bahwa saya tidak berbicara soal hal baru dalam karya kreatif teater yang dihasilkannya (mungkin secara estetik) tetapi proses dan karya yang berguna itu sendiri kelak. Juga bukan soal menokohkan apalagi mengidolakan karya terdahulu atau memilah penonton secara estetis dan ekonomis tapi apa yang sudah kita hasilkan selanjutnya memotret diri untuk terus berkarya dan berkembang, tentu saja lewat pengalaman bersama diri, orang lain, dan alam. Sesederhana itu. Yap. Terus bagaimana dengan teater yang harus bertapa dulu di tempat tertentu untuk mendapatkan ilham? Berdiam diri dalam kamar dengan setumpuk referensi? Atau berkelana ke tempat mana saja untuk berbagi cerita? Apapun kecenderungannya, verbalitas atau semiotik. Jelasnya, ia masih dalam ranah bermain.

Saya hanya ingin bermain (juga?) dalam teater yang cenderung bermula. Remaja! Waow. Teater pink. Teater timbul-tenggelam. Prosesnya lebih pendek daripada teater mahasiswa. Dan memang ia lebih banyak  jumlahnya (?), karena keadaan bukan karena matakuliah, mungkin juga karena trend. Apa sajalah, tak perlu didebatkan. Basis kekuatannya dahsyat benar. Seperti remaja yang kali pertama dapat ciuman, rasanya sulit dipikir karena nggak nyambung. Tapi daya magisnya, wuihh… (jangan dilanjutkan, kalau pun “ya”, teruskan sesuai selera).

Sayangnya tidak banyak naskah lakon untuk segmen ini. Akhirnya, banyak naskah yang dimainkan tergolong berat (belum lagi tafsirnya mungkin gelap – hehe, pinjam istilah seorang teman). Beberapa festival teater remaja di tanah air bisa buktikan kecenderungan itu.


Bermain dengan Ijma

Nah ini dia. Mari bermain berdasarkan kesepakatan bersama dulu. Istilah ijma kupinjam sajalah. Soalnya sampai sekarang kan belum ada ijma-nya teater. Ijma yang kumaksud sederhana juga seperti penemuan Teater Garasi yang sangat kecil tapi berguna. Apaan? Yaitu, soal latar hitam dalam panggung. Dasarnya: referensi, alasannya: teater Indonesia miskin. Ini belum termasuk penemuan lain mereka yang mesti saya angkat gelas untuk bersulang: terima kasih.

Garasi mungkin saja agak berbeda dengan komunitas teater lainnya. Mereka tidak mau persulit keadaan tapi mencari sesuatu yang sulit untuk kemudian dibuat mudah. Metode yang mungkin banyak orang lalui tapi tidak menyadari begitu pentingnya. Belajar bersama, memberi dan menerima menjadi satu hal yang tidak terpisahkan. Banyak ijma yang berlaku demi pencapaian bersama. Dan komunitas yang belajar bersama, tentu memperoleh sesuatu yang sangat berguna untuk dikembangkan lagi sehingga kecenderungan latah dan tidak berkonsep dapat dihindari.

Saya teringat dengan salah satu infotainment di tivi tentang strategi orang yang ingin cintanya diterima oleh pujaan hati. Banyak cara yang dilakukan, dari yang paling goblok sampai hal yang paling ekstrim. Penonton sudah punya jawaban di kepala: diterima atau ditolak. Yang bikin menarik hati bukan jawaban dari pilihan itu tapi bagaimana prosesnya ia berupaya lakukan perjuangannya. Bermain teater dengan ijma, apalagi dengan remaja, dibutuhkan sekali itu. Setelah Garasi, siapa lagi?

Kapan Bermain?

Jangan tanya dan tunggu tapi tentukan. Apalagi mencari perbedaan atau kelemahan komunitas tertentu untuk kemudian saling menjatuhkan. Kalau pun ada biar saja. Anggap saja dinamika. Dengan begitu, keberagaman ada maka daya hidup untuk bermain kian besar. Sehingga yang berproses dalam karya dan pentas nantinya bukan yang itu-itu terus.

Saya pikir, remaja adalah salah satu modal penting untuk keberagaman teater ke depan. Modal itu telah dikerjakan Garasi dengan program Actor Studio-nya meskipun remaja belum bisa masuk dalam program tersebut. Paling tidak, program itu banyak  membantu dalam pencapaian tertentu, minimal secara pribadi di atas 17 tahun (J).

Tidak menutup kemungkinan program Actor Studio akan merambah pelajar. Jika salah satu item program itu adalah “membuka jalan” keaktoran maka pelajar dengan idiom pink itu pasti lebih menarik. Wilayah permainan akan semakin hidup dengan gaya pubertas yang berbeda. Lebih jauh lagi, teater tidak lagi menjadi sesuatu yang ekslusif dan magis saja, tetapi nantinya benar-benar menjadi milik publik. Bukan sekadar bermain untuk ditonton oleh penggemar komunitas tertentu

Setuju atau tidak saya khawatir jangan sampai teater kita juga begitu, tertindas oleh sesuatu yang tidak diketahui sendiri: tertindas gelap. Ah, jangan sampai kita lupa bermain indah tetapi lebih mementingkan tepuk tangan yang riuh. Tak apalah jika begitu. Setidaknya, masih ada yang bisa ditertawai sebuah adegan tak lucu karena dimainkan kawan sendiri. Ah, biar saja begitu. Biarkan ia mencari jalannya sendiri. Toh, kentara juga siapa yang lampunya redup sebelum menyala.

*Abd. Razak Abadi, aktor teater dari Kendari, peserta Actor Studio 2007

(terbit di skAnA volume 05, November 2007-Maret 2008)

Oleh Muhammad A.B.*

Delapan orang penari lelaki dan perempuan berjajar membentuk tiga barisan, semuanya melompat-lompat dengan ujung jari kaki menjadi tumpuan. Diiringi dengan musik India (atau Jawa? Saya kurang mendengarkannya) menghentak dengan tempo yang seiring dengan lompatan para penari. Tubuh para penari nampak sangat ringan. Di antara lompatan-lompatan itu, seseorang masuk ke panggung dan memberi aba-aba. Serempak mereka melompat sambil membuka lebar-lebar kedua kaki, begitu diulangi beberapa kali. Penonton tertawa dengan adegan ini, sederhana namun menghibur. Itu adalah salah satu fragmen dalam beberapa koreografi tari yang dibawakan Solo Dance Studio di Padepokan Yayasan Bagong Kussudiardja dalam Forum Jagongan Wagen.

Kesederhanaan Solo Dance Studio malam itu nampaknya malah membawa kesegaran bagi para penonton yang hadir di Padepokan Yayasan Bagong Kussudiardjo malam tanggal 25 Juli 2007 yang lalu. Para penari hadir tanpa make up dan tanpa kostum yang meriah. Lima pertunjukan tari yang dibawakan malam itu pun pendek saja, hanya berdurasi 5-10 menit.

Pada sebuah repertoar yang menggunakan empat penari perempuan misalnya, dengan fokus masih pada lompatan-lompatan kecil yang dilakukan oleh para penarinya. SDS kembali mengundang tawa, ketika seorang penari laki-laki dengan gerak karikatural seperti berlari lambat sambil membawa dua botol air mineral di ujung tangannya masuk ke panggung. Dua botol itu kemudian diberikan pada penari perempuan yang masih melompat-lompat di tengah panggung, penari laki-laki itu kembali berlari dalam gerakan lambat, keluar dari panggung. Segarnya air yang diminum, seakan ikut dirasakan oleh para penonton yang tertawa geli.

Repertoar tari yang terakhir berjudul “Tonggo”, dimainkan oleh pasangan penari laki-laki dan perempuan. Beberapa kali tubuh penari perempuan diangkat dan digendong oleh penari laki-laki, seperti halnya dalam tari Tango dari Argentina, judul repertoar ini memang plesetan dari nama tari Tango.

Beberapa kali gerakan akrobatik yang  dilakukan pasangan penari ini membuat para penonton berdecak kagum. Di akhir repertoar kedua penari ini saling memeluk punggung masing-masing, keduanya setengah duduk berjajar menghadap penonton. Lalu kedua kaki mereka berjinjit, dengan tumpuan ujung jari kaki mereka berjalan jinjit dengan langkah cepat berputar-putar di panggung. kembali para penonton dibuat tertawa geli. Dengan cara yang sama kedua penari keluar dari panggung. Ini merupakan repertoar terakhir di Padepokan Bagong Kussudiardja malam itu.

Pagelaran SDS malam itu menyisakan kesegaran, pertunjukan yang ringan dan sederhana. Beberapa kelemahan dalam pertunjukan malam itu, seperti tidak kompaknya beberapa penari dalam melakukan satu gerakan (hal ini diakui sendiri oleh Eko Supriyant, pimpinan SDS, ketika dia memandu acara) tidak lagi menjadi masalah yang besar, karena kesederahanaan yang diusung SDS mungkin memang memberi ruang untuk kesalahan bagi para penarinya di dalam pertunjukan.

Repertoar yang dibawakan pendek-pendek, namun gerakan-gerakan yang dibawakan para penari SDS malam itu menunjukkan kematangan dan persiapan. Mereka bisa mengembangkan gerakan dasar melompat menjadi berbagai macam gerakan akrobatik, baik individu maupun berpasangan. Semua repertoar di dalam rangkaian pertunjukan ini digarap sendiri oleh para penari muda Solo yang terlibat di dalam Solo Dance Studio. Dari judul dan bentuk tari yang mereka bawakan, para koreografer muda ini memilih untuk berangkat dari hal-hal yang sederhana, namun digarap secara serius.

Yang menarik lagi dari SDS malam itu, dalam semua repertoarnya mereka sepertinya berusaha untuk tidak tergantung pada musik pengiring. Awal dan akhir repertoar yang mereka bawakan selalau tidak bersesuaian dengan awal dan akhir musik pengiring yang diperdengarkan lewat dua pengeras suara di kanan dan kiri panggung. Mereka sudah mulai menari walaupun musik belum berbunyi, begitu juga di akhir ketika musik sudah berhenti, mereka masih tetap menari.

*Muhammad AB, reporter skAnA, pernah aktif di Teater Gadjah Mada

(terbit di skAnA volume 05, November 2007-Maret 2008)

*****

Komentar Penonton:

“Mereka tidak tergantung sama musik. Asik. Gerakannya seperti silat.” (Anta, 24  Tahun, mahasiswa)

“lompat-lompat saja kok malah jadi tarian yah, badan mereka kok ringan-ringan gitu.. sebenarnya aku pengin melihat pertunjukan tari yang lebih serem, tapi ternyata kaya gitu asyik juga.” (Dyah, 21 Tahun, mahasiswi)

“Tariannya tidak seperti biasa, yang lambat.. kelihatannya ini seperti modern dance gitu ya,.. tapi gerakannya bagus-bagus kok..” (Vidya, 23 tahun, mahasiswi)

Oleh Muhammad A.B.*

Tanggal 31 Agustus sampai 5 September yang lalu berlangsung The 3rd Jogja Arts Festival di Gedung Societet Militaire Taman Budaya Yogyakarta. Acara ini menampilkan beberapa kelompok dan koreografer tari dari beberapa negara Asia dan satu kelompok yang datang dari Yunani, Eropa. Seperti dua kali penyelenggaraan JAF sebelumnya, para penampil kebanyakan berasal dari Jepang dan Korea Selatan. Salah satu kelompok yang tari dari Jepang yang ikut tampil di JAF adalah Dinyos Dance Company yang datang bersama pendiri sekaligus Direktur Artistiknya; Takashi Watanabe.

Dinyos didirikan oleh Takashi Watanabe tahun 1990 di Kyoto, Jepang, sampai sekarang mereka sudah sering tampil di beberapa negara Eropa, berkeliling Asia, serta beberapa kali tampil di beberapa panggung pertunjukan di New York, Amerika Serikat. Takashi Watanabe belajar Ballet dan Modern Dance di The Boston Conservatory of Music. Ia sudah terlibat dengan banyak penari, koreografer, dan sutradara teater di Jepang sejak tahun 1970-an.

New York Times (14 November 1994) dalam liputannya mengani penampilan Dinyos di Riverside Church, menggunakan kata “miraculously” (penuh keajaiban) untuk lima repertoar yang dianggap mampu membuat panggung pertunjukan sempit yang mereka gunakan, menjadi terasa begitu luas dan sensual. Takashi Watanabe disebut berhasil mencampur berbagai unsur dalam tari menjadi sebuah pertunjukan gerak yang menarik.

skAnA berkesempatan menonton pertunjukan Dinyos malam tanggal 4 September 2007. Malam itu Dinyos akan membawakan dua repertoar dengan judul “Water Planet-A Story of Water” dan “Pray For Peace”. Dalam dua repertoar yang panjang itu, Dinyos menampilkan 12 orang penari perempuan dengan kekompakan dan kerjasama tim yang luar biasa, membentuk berbagai komposisi dengan presisi yang hampir sempurna dalam masing-masing pertunjukan yang berdurasi 60 menit.

Ke-12 penari ini tampil dibalut gaun putih yang anggun pada repertoar pertama, di repertoar kedua mereka mengenakan gaun panjang biru yang lalu ditanggalkan. Dalam tariannya para penari Dinyos selalu tampil sebagai wanita anggun, terutama lewat kostum-kostum yang mereka pakai.

Menurut Takashi Watanabe sendiri, pertunjukan Dinyos selalu membawa sensualitas dan rasa, untuk memberikan inspirasi dan drama kepada para penonton. Dan malam itu skAnA yang duduk di salah satu kursi paling belakang di Gedung Societeit, agak tergagap-gagap kaget juga ketika di akhir pertunjukan semua penonton malam itu berdiri dan memberi tepuk tangan selama kurang lebih lima menit. Sebuah penghormatan yang diberikan penonton Jogja pada Dinyos dan Takashi Watanabe.

*Muhammad AB, reporter skAnA, pernah aktif di Teater Gadjah Mada

(terbit di skAnA volume 05, November 2007-Maret 2008)

*****


Dinyos Dance Company

Direktur Artistik: Takashi Watanabe Penari : Myu Enami, Ai Fukami, Bella Kai, Mana Fuji, Ren Arimizu, Reina, K. Maki, Keika Ishii, Sachie, Miki Kakiuchi, Rena Komatsu, dan Miki Hyuga.

Komentar Penonton

“benar-benar suatu hiburan menarik..” (Inong, swasta, 25 tahun)

“kompak banget, mereka kok bisa bergerak bersama seperti itu ya..?kelihatannya kok ga ada yang ketinggalan atau gerakannya salah.. wah hebat..” (Dini, penari, 23 tahun)

Oleh Hindra Setya Rini*

Sebuah proyek pertunjukan yang diinisiasi oleh Yoko Ishiguro dan Risky Summerbee & The Honeythief, 20 Juli 2007 telah dipentaskan di Kedai Kebun Forum, pukul 20.00 WIB.

Malam itu di Kedai Kebun Forum, penonton yang ingin menyaksikan “She Flies Tommorow” sudah terlihat bergerombol di  depan pintu masuk tempat pertunjukan berlangsung. Mereka mengantri meskipun pertunjukan masih akan dimulai cukup lama kemudian. Diperkirakan jumlah penonton yang datang dan hadir dalam pertunjukan mencapai 150-an orang, belum lagi ditambah dengan penonton yang terlambat tetapi tetap memaksa masuk ketika pertunjukan berlangsung. Pertunjukan ini mampu menarik perhatian penonton yang penasaran ingin melihat kolaborasi antara Yoko Ishiguro dari Jepang dan Risky Summerbee yang sudah tak asing lagi keberadaannya sebagai musisi karena keterlibatannya yang intensif di beberapa pertunjukan teater dan musik di Jogja.

Segera, ketika memasuki ruang pertunjukan penonton disajikan alunan musik dan TV-TV yang menyala dengan berbagai ukuran dalam suasana remang-remang. Penerangan hanya berasal dari nyala TV yang  bergambar garis-garis kabur yang terus bergoyang, hampir mirip dengan TV di rumah kita jika sedang ada gangguan atau rusak. Sementara musiknya sendiri terus dimainkan secara langsung oleh Risky & The Honeythief yang pada saat itu sudah berada di dalam panggung pada sisi kanan bagian belakang.

Ishi Ishiguro yang notabene adalah aktor tunggal dalam pertunjukan ini memasuki ruangan dengan koper besar yang digeret ke dalam panggung layaknya orang sedang bepergian. Mengunjungi suatu tempat dan tinggal untuk beberapa waktu. Irama musik sudah berganti. Aktivitas yang dilakukan aktor adalah keseharian, mulai dari menata alat kosmetik dan sebuah laptop yang mengisi ruang dan menjadi setting, menjemur dan berganti baju, menggelar kain seperti saat piknik serta menata perlengkapan yang dibawanya di sana. Suasana yang dibangun riang dan ceria.

Dalam pertunjukan yang berdurasi sekitar empat puluh lima menit ini aktor melakukan gerak tanpa kata. Sutradara She Flies Tomorrow yang adalah si Inisiator pertunjukan ini pun mengatakan bahwa dalam pertunjukan yang mereka gelar di Kedai Kebun Forum tersebut tak terlepas dari pengaruh seni teater, tari kontemporer, dan musik gig.

Gig adalah istilah lain dari konser musik yang biasanya dimainkan oleh band-band musik beraliran Rock n Roll, Blues, Jazz, Rock, dan yang lainnya tetapi tidak untuk musik Klasik. Konsep itulahlah kiranya yang ingin ditampilkan duo Risky dan Yoko Ishiguro. Ini terlihat pada Risky & The Honeythief yang tampil live (konser secara langsung) di panggung yang selaras dengan permainan tubuh Yoko dalam pertunjukan malam itu.

Tari kontemporer bisa dilihat dari gerak-gerak tubuh yang bukan keseharian yang dimainkan Yoko pada tengah pertunjukan. Saat ia bermain dengan cahaya senter yang minimalis dengan kostum yang telah berganti menjadi gaun malam, lalu muncul kembali dengan kostum minim dan ia bermain dengan koper besar di tengah ruangan dengan gerak-gerak patah.

Laptop, kursi yang digunakan saat berdandan, TV-TV yang menayangkan orang-orang lalu-lalang di keramaian yang juga kadang menggemakan suara-suara ke seluruh ruangan, cahaya temaram tempat aktor berganti baju dengan gerak keseharian, serta ruang tempat konser band yang ada di panggung, dan permainan antar performer pada malam itu kesemuanya telah membangun sebuah peristiwa bersama dalam sebuah pertunjukan teater.

Jika menikmatinya secara sekilas, pertunjukan ini tidak bisa dilepaskan dari ketiga unsur yang berpengaruh tersebut. Menjadi kabur dan sulit untuk memilah apakah bentuk pertunjukan She Flies Tomorrow ini adalah konser musik, tari kontemporer, atau teater. Yang jelas musik Risky & The Honeythief bukan pula sekedar musik ilustrasi seperti yang biasa kita temui pada pertunjukan teater-teater tertentu tetapi konser musik band ini berangkat dari teksnya sendiri. Bahkan tiga nomor lagu yang dipertunjukkan pada malam itu ada dalam album mereka, dan band ini untuk pertama kalinya menampilkan permainan komposisi musik oleh Doni Kurniawan  pada bass, Sevri Hadi  pada drum, Risky dan Erwin Subiyantoro pada gitar dan keyboard.

Ke-kabur-an bentuk tersebut dimunculkan  kembali pada akhir pertunjukan dengan interaksi yang sehari-hari dengan penonton. Mirip bentuk-bentuk performance art karena Yoko memang pulang ke Jepang keesokan harinya!

* Hindra Setya Rini, reporter skAnA, aktor Teater Garasi

(terbit di skAnA volume 05, November 2007-Maret 2008)

*****


Tim Artistik:

Sutradara Risky Summerbee & Yoko Ishiguro Aktor Yoko Ishiguro Musik Risky summerbee & The Hoeythief Stage Manager Johan Didik Desainer Lampu Antok Hercules Video Ifa Isfansyah

Komentar Penonto:

“Ide pertunjukannya menarik, menyenangkan melihatnya.. Tujuan pertunjukan jadi jelas pas adegan terakhir..” (Gembez, Aktor dan Peternak, 26 tahun)

Next Page »