Pengalaman


Oleh: Puthut Buchori*

Setiap ruang tentu memiliki ruh dan atmosfir tersendiri, namun jika spirit ruang tersebut tidak dimunculkan dan tidak dikelola secara kreatif, maka yang tampak hanyalah ruang yang kosong, dingin, dan tak bermakna.

Seorang arsitek adalah seseorang yang dapat memberi makna pada ruang atau sudut ruang terkecil sekalipun menjadi sesuatu yang berharga dan nyaman dipandang mata. Seorang pelukis pun secara teknik, emosi, imajinasi, dan fantasi tentu paham dengan kanvas atau media apapun sebagai ruang dalam berkarya, di mana dia harus menggoreskan makna, memberi fokus tontonan pada karya lukisnya. Seorang seniman seni pertunjukan tak ubahnya seorang arsitek ataupun pelukis yang harus mampu menciptakan ruang-ruang imajinasi yang dikelola dari ruang-ruang sederhana, atau bahkan dari ruang-ruang tak berharga yang lepas dari pandangan mata. Tim artistik Teater Kulonprogo (TeKaPe) Yogyakarta mencoba masuk pada posisi tersebut, yaitu menciptakan ruang baru untuk dapat memancing imajinasi penonton.

Pada perhelatan Festival Teater Jogja 2010, yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Umar Kayam, TeKaPe sebagai salah satu peserta festival tersebut, sepakat untuk memilih naskah Umang Umang karya Arifien C. Noer (satu dari sekian judul naskah yang disediakan panitia). Naskah tersebut dipilih karena membuka kemungkinan untuk berimajinasi dengan ruang seluas-luasnya.

Dari karya hebat yang ditulis oleh maestro teater Indonesia ini, banyak kemungkinan yang dapat dieksplorasi secara visual dari sisi ruang pertunjukan. Naskah tersebut dikaji dan diinterpretasi ulang sesuai keadaan, kemampuan, dan kreatifitas yang dimiliki personil TEKAPE yang sebagian besar adalah pekerja-pekerja teater muda yang masih bersemangat membangun inovasi dan imajinasi baru di dalam proses berteaternya. Lakon Umang Umang diadaptasi dengan mengambil spirit humanity dan religiusitasnya (seperti pada naskah Arifin yang lain) menjadi bentuk lakon baru yang tentu akan sangat berbeda dengan pementasan Umang Umang produksi Teater Kecil atau kelompok teater lainnya. Tim artistik yang terdiri dari Muhammad Shodiq (sutradara), penulis (art director), dan Bandung Bondowoso Stage Management (visualizer), melakukan survei ke beberapa tempat sesuai konsep yang telah disepakati yakni sebuah pertunjukan yang dapat mengeksplorasi berbagai rupa (visual) pertunjukan dengan menggunakan unsur tanah, air, udara, dan api sebagai media dalam menggarap pertunjukan.

Pilihan jatuh pada jembatan kecil berukuran 3 x 5 meter di dusun Kalisoka, desa Margosari, kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulonprogo. Lingkungan di sekitar jembatan tersebut memiliki sudut-sudut artistik yang unik dan menarik berupa unsur air, unsur tanah, dengan berbagai macam tanaman yang cukup kuat memberi makna secara artistik, dan unsur udara bebas dengan background langit lepas di antara pepohonan yang menjulang tinggi, terasa pas untuk menghadirkan lakon Umang Umang versi TeKaPe.

Panggung berbentuk piramid terbuat dari bambu dibangun di atas sungai

Untuk kepentingan konsep tempat di mana cerita berlangsung dan konsep tempat di mana cerita dihadirkan pada penonton, di atas sungai tersebut dibangun performance area berbentuk piramid yang dibuat dari bambu, disusun seperti jembatan bambu yang silang sengkurat, menjulur dari berbagai arah. hal ini menyimbolkan perkampungan para pencuri yang jauh dari perkampungan penduduk namun selalu ingin bertuju ke mana saja. Tempat itu diimajinasikan sebagai tempat berkumpulnya para pencuri kreatif yang bisa berkhayal apa saja tentang hasil jarahannya, bahkan dapat pula diartikan sebagai tempat sidang agung para pencuri dalam memutuskan rencana besar dalam rangka mencuri semesta.

Ruang pertunjukan yang diciptakan oleh tim artistik TeKaPe semula adalah ruang kosong, yang sama sekali tidak pernah dipakai dalam aktifitas apapun oleh warga dusun Kalisoka. Dalam kurun waktu tiga minggu menjelang pementasan, jembatan itu berubah menjadi ruang publik yang hidup dan bersahaja, karena selain menjadi tempat berlatih para pendukung Umang Umang, di waktu senggang juga digunakan anak-anak dusun sebagai area bermain yang menyenangkan dan menghibur. Jembatan itu menjadi ruang rekreasi baru, yang memang dibutuhkan anak-anak dusun tersebut karena mereka berada jauh dari area permainan (masyarakat dusun Kalisoka termasuk masyarakat transisi, di mana aktivitas permainan tradisonal sudah mulai mereka tinggalkan namun permainan modern belum bisa dijangkau). Maka permainan perkampungan bambu tersebut bisa menjadi alternatif permainan baru.

Ditinjau dari sudut pemahaman konsep pertunjukan teater modern, konsep artistik pementasan Umang Umang TeKaPe ini dapat memberi warna baru, baik bagi apresiator pertunjukan yang sudah biasa menyaksikan pertunjukan-pertunjukan teater modern maupun bagi apresiator baru, yakni masyarakat desa yang (mungkin) baru pertama kali menyaksikan pertunjukan teater modern. Dengan tontonan di atas sungai yang juga memanfaatkan berbagai macam elemen pertunjukan (pesta kembang api, akrobatik bambu, permainan air seperti berenang, ciblon, terjun ke air, dll) ini, TeKaPe berharap dapat memberi pencerahan dan wawasan bagi (terutama) kelompok teater pemula yang kadang―karena minimnya dana dan fasilitas―repot dengan urusan mencari tempat pertunjukan. Prinsip konsep pertunjukan Umang Umang ini adalah “pertunjukan bisa dihadirkan di mana saja, bergantung dengan menarik dan tidaknya konsep tontonan dan eksekusi pertunjukan yang akan dihadirkan”. Sejelek dan setidak-menariknya venue yang akan digunakan, masih dapat disulap sedemikian rupa sehingga menjadi tempat pertunjukan yang menarik, fantastis, dan eksentrik. Pementasan Umang Umang ini, dengan upaya memaknai ruang kosong―yang semula terkesan kumuh dan tak bermanfaat, hanya sebagai sarang nyamuk karena banyaknya semak belukar liar di sekitarnya―dan mengubahnya menjadi ruang tontonan berhasil menghibur dan mengesankan baik penonton maupun para pemainnya. Dari riset penonton yang dikelola tim produksi pementasan, diketahui bahwa hampir semua penonton (baik yang jauh-jauh datang dari Jogja yang berjarak 30 km maupun penonton lokal yaitu warga dusun Kalisoka, Margosari, dan sekitarnya) tidak ada yang komplain dengan tontonan tersebut, sebaliknya merasa senang dan puas. Hal ini membuktikan bahwa segala macam bentuk tontonan pada segala bentuk ruang pertunjukan tidak mematikan kreatifitas seniman dalam menghadirkan ruang imajinasi pada diri pelaku seni itu sendiri ataupun pada khalayak penonton.

Umang Umang yang disajikan oleh TeKaPe pada tanggal 17 Juli 2010 itu bercerita tentang rencana gerombolan pencuri pimpinan Waska, seorang tokoh pencuri agung yang karismatik seperti halnya pencuri besar negeri ini, yang sangat kejam dan jahat meski mereka berwajah tampan dan santun, pencuri yang tega membunuh generasi demi kepentingan pribadi. Pementasan ini didukung pemain: M. Fajarwanta, Budi Satrio Utomo, Kenwari Hawa, Fahrunnida, Dwi Fatonah, Fajruliyah Roza Mafaza, Nur Aining, Isnarsella Dabriatiin, Edsara Afina Ghaida Fasya, dan Doni AsSarkem.

 

* Puthut Buchori, Art director pementasan Umang Umang karya Arifin C. Noer oleh Teater Kulonprogo Yogyakarta.

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)

 

Oleh: Nunung Deni Puspitasari

Awal bulan September 2009 lalu, saya dihubungi Andy SW (sutradara dan manajer Bengkel Mime Theatre) lewat SMS. Inti pesannya adalah mengajak saya untuk ikut proses sebuah pementasan puisi. Meski belum yakin, saya kesampingkan keraguan yang sempat mampir di dalam pikiran dan mengiyakan ajakan tersebut karena kerinduan saya untuk kembali pentas dan berproses. Keraguan yang sempat muncul itu karena belum pernah satu kali pun saya mementaskan sebuah puisi secara serius di atas panggung. Kalau toh membaca puisi, paling hanya saya lakukan di kamar mandi, di depan teman-teman yang terbatas, panggung tujuh belasan, atau pun di depan anak-anak.

Keraguan yang tadinya muncul, perlahan memudar setelah pertemuan pertama kami di Sanggar Bengkel Mime Theater, di Nitiprayan. Dengan jelas Andy memaparkan harapan dan keinginannya dalam pementasan tersebut. Lewat pementasan nanti, ia ingin mengangkat kehidupan keluarga dengan jujur. Pementasan puisi tersebut ternyata juga tidak berupa pembacaan puisi murni, namun ada unsur teaterikalnya. Ia juga ingin mencari bentuk baru, yaitu sebuah pementasan puisi yang tidak hanya sekadar mengajak penonton menemukan makna pada puisi yang disampaikan, melainkan juga bagaimana memaknai dua bentuk dalam pementasan (teater dan puisi) sebagai satu kesatuan yang utuh. Bukan teater sebagai alat pemanis puisi atau sebaliknya.

Sepintas, beberapa gambaran yang disampaikan Andy terkesan sangat konyol bagiku; bagaimana ia berandai-andai seorang Willy Rendra yang kharismatik tengah membaca puisi dengan serius, tiba-tiba terhenti karena amukan ibunya yang terganggu suara Rendra. Awalnya, begitulah, terkesan konyol. Tapi kemudian, ide itu justru menggelitik pikiranku. Adakah orang lain pernah memikirkannya? Aku sendiri tidak, selama ini aku hanya menerima begitu saja pakem yang telah disepakati bersama. Konsep pertunjukan ini memang berangkat dari kegelisahan Andy atas ”pakem” yang selama ini dia tahu dan percayai. Mungkin, hal itu salah satu yang menjadikannya dikenal sebagai seniman yang memiliki ide-ide segar.

Proses yang kami jalani sangat natural. Andy tidak serta merta menyodorkan sebuah naskah puisi kepada saya. Andy hanya menawarkan tema keluarga sebagai koridor eksplorasi kami. Kami lebih banyak mengobrolkan pikiran masing-masing dalam bentuk sharing bersama. Misalnya, gambaran aktivitas apa yang muncul dalam kehidupan keluarga, kemungkinan-kemungkinan konflik yang muncul, bahkan kekonyolan kehidupan keluarga yang jarang dipaparkan dalam sebuah pementasan. Secara pribadi sebagai pemain teater yang terbiasa menekuni naskah, mempelajari baru kemudian mengeksplorasinya, saya sempat merasa kesulitan. Banyak perbedaan yang  menjadikan proses kami berjalan tersendat. Dengan tegas Andy menyatakan bahwa hal justru tersebut yang ingin ia munculkan dalam proses ini; bukan sekadar mendiskusikan pentas tersebut namun juga menjembatani perbedaan persepsi kami sebagai individu yang memiliki pengalaman proses berbeda. What a lovely and new thing for me.

Pada pertemuan kedua dan selanjutnya kami lebih banyak mengeksplorasi bentuk. Andy memberi saya kebebasan dalam menemukan bentuk yang akan saya mainkan nanti. Lucunya, dalam proses ini saya membayangkan sebuah acara seperti Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan acara lain sejenisnya. Bagaimana tidak, ia membebaskan saya menemukan dan mengeksplorasi bentuk. Kemudian bentuk yang sudah terkumpul disaring, diambil yang diinginkan dan bentuk yang tidak mewakili tema, dibuang. Otoritas Andy sebagai sutradara bukan sebagai center idea melainkan sebagai penentu bentuk yang ingin dicapai. Bukan tidak mungkin bagi saya menyisipkan ide-ide kreatif yang menambah kekayaan pentas ini. Bahkan, Andy sebagai sutradara sering mendiskusikan idenya dan saya sebagai aktor memiliki kekuasaan untuk memutuskan apakah ide itu akan dipakai atau ditinggalkan. Andy tidak mendesain alur pementasan di awal proses, namun alur tersebut benar-benar muncul dari pembicaraan, sharing, dan eksplorasi kami.

Pada 9 Oktober 2009 kami memberanikan diri mementaskan ”Uh Kamu Nyebelin” di Teater Ruang Solo. Di luar dugaan, sambutan dari komunitas tersebut sangat hangat. Bahkan, dalam sesi diskusi usai pementasan, mas Joko Bibit Santoso sebagai pengelola dan sutradara Teater Ruang mengompori kami untuk menyebarkan ”new style” (begitu dia menyebut gaya pementasan kami) ini seluas-luasnya. Beliau  menyebutkan beberapa tempat dan nama untuk memancing kami mementaskan lagi pertunjukan ini.  Hal itu menimbulkan semangat dalam diri kami untuk menyebarkan bentuk pementasan ini di Yogyakarta. Apa sih yang tidak mungkin? Darah mudaku mengalir cepat. Secepat hembusan angin malam yang keras menggoyang pepohonan di samping rumah joglo Teater Ruang malam itu.

Awal Januari, lagi-lagi Andy mengirim SMS yang menyatakan ingin berbincang-bincang sejenak tentang pertunjukan kemarin. Dari pertemuan tersebut Andy menyampaikan keinginannya untuk mementaskan puisi ini keliling kampus. Tanpa berpikir panjang, ajakan tersebut saya sanggupi. Andy ingin kami berdua bisa menambahkan atau mengubah beberapa adegan. Jadi, intinya ia ingin proses ini dimulai lagi dari awal. Memori bentuk jadi dari proses kemarin harus benar-benar hilang. Mulailah kami pun mencari, mengeksplorasi hal-hal baru tersebut. Lagi-lagi kami sering tidak nyambung. Sehingga dalam latihan sering kami gunakan sebagai ajang curhat, menceritakan pengalaman pribadi masing-masing. Bahkan sempat mas Jamal (aktor Teater Garasi) yang sedang berproses dengan Ari Dwianto (aktor Bengkel Mime Theatre) nyeletuk, ”Latihan po curhat?” Namun di luar dugaan, curhat dan obrolan yang awalnya kami gunakan untuk menetralisir perbedaan, malah memunculkan potongan puzzle yang selama ini kami cari. Maka, mulailah kami menata sebuah bentuk baru. Memilah, membuang, menambahkan. Kalau toh ada bentuk-bentuk lama yang muncul dan hal-hal baru disisipkan sana-sini, namun proses yang kami alami benar-benar baru.

Hasil dari proses itulah yang kemudian kami pentaskan di hall Teater Gadjah Mada Yogyakarta pada 20 Februari 2010 dan di kantin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada 25 Februari 2010. Rencana awal kami memang ingin mementaskan pertunjukan ini di 5 kampus. Hanya saja kami baru mementaskannya di 2 kampus itu, sedangkan yang lain masih tertunda karena kesibukan kami masing-masing.

***

Seorang ibu tampak sedang menyuapi anaknya yang sedang asyik bermain bola. Selesai menyuapi, si ibu meminta anaknya mandi. Namun, si anak menolak. Ibu bersikeras agar anaknya mau mandi hingga akhirnya ibu marah besar. Lampu mati. Ketika lampu dinyalakan tampak ibu dan anak di sudut yang berbeda. Ibu dengan mesin jahitnya, dan anak asyik dengan puisinya.

Mak…. Mak… Aku datang malam ini, Mak. Bukakan pintu, Mak. Duh… jangan bobok dulu. Di sela puisi, emak masih asyik menjahit bajunya. Hingga suara mesin jahit yang digunakan emak mengiringi dialog mereka berdua. Judul puisi tersebut adalah Sebuah Prolog untuk Emak. Anak: ”Cukup Mak, sudah hampir pagi, sebentar lagi rumah kita akan meledak, jangan berlari Mak! Kita takkan pernah mati kan, Mak? Kita abadi kan? Kita keren kan? Setelah meledak nanti kita akan melihat jendela-jendela terbuka dan kita kan terbang ke sebuah rumah tanpa sumpah serapah”. Emak menjawab, ”Sudah, pergilah! Biarkan emak menjahit baju untuk melupakan musim semi dari bapakmu. Pergilah, bersama nafasku dan 500 tahun tanpa dosa-dosa di tubuhmu. Lekas lari! Sudah tak ada rumah untukmu.”

Itulah sekelumit puisi yang kami pentaskan. Dan pementasan pun ditutup dengan teriakan si anak dari puisi yang berjudul Epilog untuk Emak. ”Mak, 3000 tahun lagi aku boleh kembali, Mak?” Emak dengan tegas menjawab, ”Tidak boleh.”

* Nunung Deni Puspitasari, aktor di Teater Amarta Bantul Yogyakarta

(terbit di skAnA volume 12, Mei-September 2010)

Oleh: Mohammad Qomaruddin*

bocah bajang nggiring angin

anawu banyu segara

ngon-ingone kebo dhungkul

sasisih sapi gumarang


Satu sore di bulan Juni. Dalam sebuah percakapan yang hangat, Gunawan Maryanto menawarkan kepada seluruh peserta Actor Studio 2009 dua buah teks yang akan menjadi pijakan gagasan proses penciptaan karya yang kemudian diberi judul “Bocah Bajang” itu. Dua teks tersebut adalah fenomena dukun cilik Ponari dan suluk Bocah Bajang.

Kenapa dan ada apa dengan Bocah Bajang dan Ponari? Bukankah Bocah Bajang adalah sebuah suluk (nyanyian/tembang dalang yang dilakukan ketika akan memulai suatu adegan/babak dalam pertunjukan wayang, red.) sedangkan fenomena Ponari adalah realitas, bukan fiksi? Ah, barangkali ini hanyalah kebiasaanku yang selalu patuh pada logika sebab akibat. Kuredam bisikan-bisikan itu lalu hening.

Pertemuan selanjutnya kembali membicarakan dua teks tersebut, tentu saja setelah membekali diri dengan bacaan dan informasi hasil browsing dari internet. Dari percakapan tentang Ponari memuncul pertanyaan dan pernyataan bahwa fenomena Ponari adalah perihal hak anak, kuasa media, relasi kepercayaan orang Jawa terhadap mistik dan tradisi, kemiskinan, pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya. Perihal suluk Bocah Bajang kami mendapatkan lebih sedikit bahan, hanya seputar apa itu suluk Bocah Bajang dan siapa itu Bocah Bajang, serta rekaman suluk yang dinyanyikan sinden dan dalang. Tak sebanyak tentang Ponari. Namun kemudian kami mendapatkan cerita panjang dari Gunawan Maryanto tentang suluk tersebut. Ia terkait dengan  munculnya Semar dalam babak goro-goro pada pertunjukan wayang. Kami juga mendapat banyak cerita perihal sejarah Semar, serta pemaknaannya secara filosofi (yang tentunya tak bisa kujelaskan dalam tulisan ini). Singkat cerita kemudian aku semacam menemukan jawaban dari pertanyaanku. Ada hal yang sama dari keduanya: sebuah ketidakmungkinan dan sebuah harapan, seorang bocah; paling tidak itu yang sementara dapat kusimpulkan kenapa dua teks tersebut dipilih menjadi pijakan proses ini. Kemudian kami juga bersepakat  menggunakan tubuh dan kata sebagai alat komunikasi atau bentuk pertunjukannya.

Selanjutnya sebagai bagian dari proses penciptaan kami melakukan observasi terkait dengan dugaan-dugaan personal yang muncul tentang fenomena Ponari. Ada yang pergi ke dukun menjadi pasien, mengunjungi tempat-tempat peziarahan, wawancara dengan anak jalanan, wawancara dengan pasien rumah sakit. Hasilnya kami percakapkan bersama Ugoran Prasad (fasilitator kelas observasi dalam rangkaian program belajar keaktoran Actor Studio Teater Garasi 2009) yang membantu kami menyiapkan, melakukan, dan mengolah hasil observasi, sebelum akhirnya kami benar-benar pergi ke Jombang.

Ziarah Fiksi

Tempat Ponari dan kesaktiannya dibesarkan berada di dusun Kedungsari, desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang. Tak ada angkot menuju dusun itu, hanya ada ojek dari Megaluh. Dusun kecil yang sebagian besar penduduknya sehari-hari bekerja sebagai petani itu―seturut cerita penduduk setempat―telah berkembang pesat menjadi desa wisata berkat Ponari dan batunya. Banyak penduduk yang kemudian berganti profesi menjadi pedagang. Menjadi pedagang tentulah lebih menguntungkan mengingat setiap harinya, ribuan orang tak mendatangi dusun Ponari, dari pagi buta hingga larut malam. Namun, sejak terjadinya peristiwa pasien meninggal akibat mengantri begitu panjang dan berdesak-desakan, praktek pengobatan Ponari hanya dibuka sejak pukul dua siang hingga empat sore setiap harinya.

Kusiapkan  kostum sebuah jas dan celana kain serta kupluk―layaknya seorang santri yang mondok di pesantren―dan berperan sebagai seorang pasien, dengan sasaran mengetahui dan mengalami prosesi pengobatan. Teman yang lain pun telah menyiapkan skenario masing-masing. Dalam observasi ini, aktor sebagai observer diminta untuk secara fisik berada di dan mengalami lingkungan obyek observasi, mencari data dan mengumpulkan cerita apa saja yang berkait dengan Ponari.

Kami bersebelas berada di Jombang selama tiga hari. Waktu yang sebentar tetapi banyak sekali cerita yang diperoleh dan situasi yang dialami. Mulai dari cerita seram Ibu Lurah tentang warga dusun Ponari, cerita asal-usul batu yang berbeda-beda versinya, hingga penelusuran pasien yang tak berujung.

Perjalanan kami lebih mirip dengan Ziarah ke makam Wali. Hanya ada jejak peristiwa dan cerita. Cerita-cerita itu seolah-olah meyakinkan betapa yang selama ini kulihat di televisi dan kubaca di koran-koran itu sungguh benar adanya. Ribuan orang pernah berdesakan dan mengantri untuk mendapatkan air celupan batu sakti, di sepanjang jalan yang kulewati  itu.

Saat aku mengunjungi dusun itu, Ponari sedang membangun rumah baru, masjid, taman kanak-kanak, jalan, hingga pagar tembok kuburan. Semuanya dikerjakan secara bersama dan bergotong-royong―menghancurkan cerita Bu Lurah tentang seramnya warga dusun itu. Cerita yang kami dengar dan realitas yang berlangsung saling bertabrakan, membingungkan. Seorang pasien yang menurut cerita penduduk sembuh setelah minum air Ponari―yang kemudian kami temui―ternyata sama sekali belum pernah berobat ke Ponari. Belum lagi, banyak orang yang mengaku masih kerabat Ponari menawarkan fasilitas ritual berobat, penginapan, serta cerita-cerita lain tentang khasiat batu Ponari.

Tapi apapun yang sebenarnya berlangsung, Ponari telah menjelma wali―bahkan lebih―bagi orang-orang yang keadaan ekonominya berubah setelah dibukanya praktek Ponari tersebut. Percaya atau tidak bukan lagi hal yang penting. Bagi mereka, lebih penting bagaimana agar pembangunan kampung bisa terus berjalan, dan keberlangsungan hidup serta kebersamaan mereka tetap terjaga.

Dari Observasi Menuju Presentasi

Sepulang dari Jombang, kami beranjak menuju camp selama tiga hari dan bergulat dengan penciptaan bentuk lewat praktik, diskusi, menonton video, dan menonton pameran lukisan. Kali ini kami bergelut dengan tubuh kami sebagai aktor, benda, dan ruang, sebagai konsekuensi dari gagasan dan bentuk teater yang telah kami sepakati sebelumnya. Dalam tiga hari kami mencoba mengolah apa yang kami cerap, alami, dan temui di Jombang (meskipun tidak menutup kemungkinan adanya pantulan pengalaman lain) melalui improvisasi. Gunawan Maryanto sebagai sutradara kemudian memilih beberapa peristiwa yang berlangsung dalam improvisasi tersebut, dan membawanya dalam rehearsal.

Sebulan kemudian, kami melakukan presentasi awal pada penonton terbatas atas pertunjukan yang sedang kami kerjakan (work in progress) dengan harapan mendapat masukan tentang pertunjukan yang hendak kami sajikan. Diskusi pun bergulir, catatan menempel di sana-sini. Sebuah catatan terbaca: “presentasi kalian sama sekali tidak mencerminkan bahwa kalian pernah pergi ke Jombang, banyak cerita yang hilang”. Sudah benarkah yang kulakukan?

Presentasi 'Bocah Bajang' di Studio Teater Garasi

Berkumpullah  seluruh tim, mengutak-atik dan mencari tahu apa yang sebenarnya berlangsung. Tak ada yang salah, hanya soal waktu dan seberapa berusahakah kami dalam memecahkan soal yang ada. Akhirnya sebuah dekrit turun dari sutradara kepada aktor: “Kembali baca catatan dan ingat kembali perjalanan dan peristiwa yang kalian alami di Jombang.”

Setelah libur selama dua minggu, kami kembali bertemu. Terkumpullah teks-teks dan semangat baru. Masing-masing aktor berhasil menuliskan teks dan menggarapnya, sutradara kemudian memberi arahan dan stimulan. Rasanya seperti baru saja terbangun dari tidur yang panjang. Mendapati semuanya telah berubah.

Proses Penciptaan – Observasi – Aktor

Salah satu peran yang kumainkan dalam pertunjukan “Bocah Bajang” adalah Pak Kardi, teksnya kutulis sendiri dan diedit oleh sutradara. Aku benar-benar pernah bertemu dengannya, bercakap langsung, dalam sebuah percakapan yang impresif. Ia lincah berbicara tentang Tuhan dan hal-hal gaib, ia juga mengaku sebagai paman Ponari.  Gaya bicaranya merubah pandanganku tentang penduduk desa tersebut. Aku menemukan dan mengingatnya setelah betul-betul membaca kembali catatan personalku atas observasi di Jombang. Ia membuatku teringat bahwa aku bukan wisatawan.

Dari situlah aku belajar tentang bagaimana aktor tidak hanya melakukan tapi juga membikin dan menghitung apa yang akan ia lakukan dan tawarkan sebagai bagian dari tim kerja. Percayalah, observasi sangat membantu aktor untuk mengalami dan atau berada dalam lingkungan dan peran yang akan ia mainkan. Maka saat kita tersesat ia akan menuntun kita, paling tidak membawa kita kembali ke jalan semula.

Sebagai sebuah terminal proses, “Bocah Bajang” dan observasi ke Jombang memberiku gambaran tentang bagaimana keaktoran sebagai sebuah disiplin dapat ditatap dengan berbagai macam jalan.  Bahwa keaktoran merupakan disiplin pengetahuan dan dapat kita pelajari. Bahwa dalam kenyataan di sekitar kita banyak hal, ihwal, dan ide.

Aktor adalah kreator, tidak melulu hanya medium. Barangkali ini bukan satu-satunya tetapi salah satu jalan yang bisa kuceritakan. Karena fiksi telah berelasi dengan kenyataan. Kenyataan diurai, dihancurkan, lalu ditata ulang menjadi fiksi, menjadi kenyataan yang lain. Suluk itu kemudian dinyanyikan, peristiwa-peristiwa itu ditubuhkan, digerakkan.

* Mohammad Qomaruddin, peserta Actor Studio 2006 dan 2009, aktor di Teater Tangga

Pengalamanku Menonton Pertunjukan

Oleh: Anjar Primasetra

Jujur. Walau saya baru menonton pertunjukan teater sebanyak empat kali (huah… maafkan saya yang sedikit katrok ini, sudah sepuluh tahun hidup di Jogja tapi baru empat kali menonton teater), ada tiga hal yang paling saya perhatikan saat menonton pertunjukan teater: lighting, musik pengiring, dan ekspresi penonton. Menurut saya tiga hal itu adalah unsur yang paling penting dalam sebuah pertunjukan, selain akting para pemain tentunya.

Lighting dan musik pengiring dapat menggiring penonton lebih khusyuk dalam menikmati sebuah pertunjukan. Saat pementasan teater Sakata beberapa pekan lalu di Studio Teater Garasi, saya sempat sedikit was-was karena pada waktu berangkat di sepanjang jalan Godean terjadi pemadaman listrik. Lalu muncul pertanyaan dalam kepala saya, “Wah di sana mati lampu, nggak ya?” Kan tidak lucu kalau tata cahaya yang dipakai dalam pementasan adalah lilin yang dijejerkan di lantai atau dibuat melingkar. Tapi, mungkin bisa dicoba sekali-sekali, pementasan teater dengan menggunakan lilin sebagai efek cahayanya. Syukurnya, ternyata tidak ada pemadaman lampu, dan pementasan berlangsung lancar dan ciamik!

Ekspresi wajah penonton juga hal yang paling saya perhatikan dalam sebuah pementasanapa pun itu. Ya musik, teater, sulap, bahkan pengajian. Karena menurut saya, ekspresi wajah penonton dapat menunjukkan apakah pementasan tersebut berbobot atau tidak. Jujur, saya sedikit kecewa ketika melihat wajah seorang penonton yang terlihat bosan, padahal menurut saya acara tersebut layak untuk ditonton. Atau sebaliknya, saya bosan tapi penonton di sekitar menunjukkan ekspresi wajah yang begitu antusias (saat itu saya akan bertanya dalam hati, “He? Ada yang salah nih, ya? Atau aku-nya yang lemot??”).

Malam itu, 15 Mei 2009, dalam pementasan Kemana Waktu? Aku Ingin Bermain! ketiga hal yang saya sebut tadi menjadi sebuah komposisi yang menarik. Tata cahaya yang apik, sesuai dengan adegan yang dimainkan. Backsound yang sangat komikal (menggunakan soundtrack anime Ninja Hattori Kun, OST game Pac-man, Counterstrike, dan Parasite Eve) cocok sekali dengan “warna” yang sedang dimainkan (saya berpikir, sutradara yang memilih lagu-lagu tersebut pasti Otaku dan maniak Jepang). Dan yang pasti, ekspresi penonton saat itu cukup antusias. Kesimpulan saya, pertunjukan pantomim dari Teater Seriboe Djendela itu menarik dan layak ditonton!

Pertunjukan ini diselenggarakan sekaligus untuk memperingati sepuluh tahun usia kelompok teater yang bermarkas di Universitas Sanata Dharma itu. Naskah diangkat dari sebuah novel karya penulis Jerman,  Michael Ende, berjudul Momo. Ini adalah kisah tentang perlawanan seorang anak bernama Momo terhadap penjahat waktu yang menghasut orang-orang agar menggunakan waktunya hanya untuk bekerja dan sedikit beristirahat. Momo kehilangan teman-teman sepermainannya karena sejak kedatangan penjahat waktu, para orang tua melarang anak-anaknya untuk membuang-buang waktu dengan bermain, karena bermain dianggap tidak berguna bagi masa depan mereka. Akhirnya, mereka tidak dapat lagi bermain bersama dan keceriaan pun menghilang.

Pada awalnya, seperti tertulis dalam booklet pertunjukan, Teater Seriboe Djendela ingin mementaskan secara utuh naskah novel tersebut. Namun karena beberapa keterbatasan, mereka kemudian melakukan adaptasi; beberapa poin penting dari pembacaan novel Momo diterjemahkan menjadi empat fase pertunjukan.

Fase pertama: suasana di mana anak-anak yang penuh dengan keceriaan masih bisa bermain petak umpet dan kejar-kejaran. Suasana itu seketika terusik oleh kedatangan para orang tua yang melarang anak-anaknya bermain. Para orang tua itu kemudian mengganti permainan anak-anaknya dengan console game dan permainan video lainnya yang sangat individualis. Tentu saja, dalam fase ini ada tokoh Momo yang ditinggalkan oleh teman-temannya. Tokoh Momo itu digambarkan sebagai seorang anak perempuan manis yang akhirnya harus bermain-main sendiri.

Oh, ya, saat kemunculan pertama kali tokohnya satu demi satu, saya cukup merasakan sebuah distorsi dalam benak saya. Ada yang aneh dengan mereka. Apa ya? Ah, itu dia. Proporsi tubuh tokoh-tokohnya sangat aneh, dengan ukuran kepala yang sepertinya sedikit lebih besar. Ha ha… saya seperti sedang bermain game RPG seperti FF VII dan classic RPG di Play Station dengan karakter super deformed (SD) yang cebol-cebol. Tapi, ini mungkin terjadi karena tokoh-tokoh tersebut (yang adalah orang-orang dewasa) menggunakan pakaian anak-anak. Tapi, tidak apa-apa. Menurut saya itu keren, apalagi dengan tokoh-tokoh kocak dan komikal banget, membuat semua penonton terpingkal. It’s cool, dude!

Fase kedua adalah saat mereka bersekolah dan harus giat belajar agar mendapatkan prestasi yang cemerlang. Fase ketiga adalah saat mereka lulus kuliah dan mendapatkan IPK yang bagus. Mereka bangga dengan hasil yang telah diraih. Pada adegan ini digambarkan mereka memperlihatkan IPK masing-masing dengan gaya gadis-gadis yang membawakan nomor ronde pada pertandingan tinju. Kemudian mereka berpose beberapa saat, seakan siap untuk difoto (ya, memang begitu, karena serentak para fotografer dengan sigap menjepret kameranya). Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sebentar. Pada akhirnya mereka terpojok dalam kenyataan sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan, walaupun IPK sudah setinggi langit.

Fase terakhir menceritakan kondisi saat mereka sudah bekerja dengan pekerjaan yang begitu berat, menyita waktu, dan menjemukan. Mereka berakting layaknya robot (mesin) yang sedang beroperasi. Sewaktu adegan robot-robot itu berdiri menyebar di panggung dengan lighting lampu disko dan musik yang ajeb-ajeb, saya menanti sebuah adegan di mana tiba-tiba musik berubah menjadi lagu-lagu bernada twinkle-twinkle little star lalu Momo muncul berjalan melintasi panggung dan berhenti di depan penonton dengan ekspresi wajah yang menyedihkan. Tapi sayang, tidak ada adegan seperti itu.

Pementasan itu diakhiri dengan adegan yang menggambarkan orang-orang yang sudah menjadi robot itu jenuh dan merindukan masa kecil mereka yang bahagia di mana mereka masih bisa bermain dan bercanda. Dengan mupeng (muka pengen), orang-orang itu memandang Momo yang asyik bermain dengan penuh keceriaan.

Pesan yang dapat saya tangkap dari pertunjukan ini adalah, gunakanlah waktu sebaik mungkin. Jangan sampai kita menyesal karena telah ditinggalkan oleh sang waktu untuk mengejar kesibukan-kesibukan yang membuat kita menjadi robot. Kalaupun nantinya kita tetap akan menjadi robot, jadilah robot yang bisa minum kopi bersama teman-teman sesama robot. Loh?

NB: sehabis menonton dan mendiskusikannya bersama teman-teman di luar ruang pertunjukan, saya baru menyadari ternyata pertunjukan ini dari awal saja sudah absurd. Harga tiket pertunjukan bukan 5000 tetapi 4900. Bah…

(terbit di skAnA volume 10, Juli-November 2009)

Oleh: Dhinar Aryo Wicaksono*

Peranku adalah Suparto, seorang pelancong yang tersesat di sebuah kota. Ini debut pertamaku bermain teater. Ia adalah seorang tokoh dalam pertunjukan berjudul “Celah, Perjalanan Seorang Pelancong” produksi Teater Tangga. Pertunjukan ini dimainkan di tiga kota yaitu Semarang, Solo, dan Jogja pada bulan November 2008 lalu. Aku belum mengenal teater sebelumnya, entah karena dorongan apa dan dari siapa, aku mengikuti proses ini dari awal penggarapan hingga pementasan berlangsung.

Bermain teater itu ternyata membuat nervous, grogi, kaku, dan banyak perasaan sensasional lain saat menghadapi penonton. Campur aduk.

Proses produksi “Celah, Perjalanan Seorang Pelancong” dimulai dari bulan Februari 2008, berangkat dari keinginan teman-teman untuk membuat sebuah pementasan. Pada awalnya dipilih naskah “Senja Dengan Dua Kelelawar” karya Kirdjomulyo. Akan tetapi di tengah proses penggarapan yaitu saat pembahasan naskah, kami merasa tidak sreg pada bahasa naskahnya yang agak kaku (meskipun sutradara membebaskan cara kami mengucapkan teksnya). Akhirnya kami memutuskan untuk mengganti naskah. Selain itu, beberapa aktor mengundurkan diri sehingga kami kekurangan pemain.

Penggantian naskah tidak serta merta membuat kami meninggalkan naskah lama. Sebelum diputuskan untuk membuat naskah baru, sutradara—M. Qomaruddin—mewajibkan para aktor untuk melakukan pengamatan di stasiun berdasar karakter tokoh-tokoh dalam naskah “Senja Dengan Dua Kelalawar”. Hasil pengamatan itu kemudian dituliskan atau diceritakan dalam bentuk monolog. Pada awalnya aku sempat bingung dalam melakukan pengamatan, tapi kulakukan saja tanpa banyak berpikir. Tidak hanya ke stasiun, kami juga sempat pergi ke pasar. Dengan bekal pengetahuan yang sedikit, kucoba menuliskannya. Lewat beberapa kali pengamatan dan diskusi yang membingungkan, akhirnya aku berhasil menuliskan ceritaku.

Setelah semua tulisan terkumpul, kami menunjuk empat orang untuk menjadi tim naskah yang bertugas merangkai monolog-monolog itu menjadi sebuah naskah ensamble. Mereka adalah Nur ”Brek” Kholis, Septian, M Reza, Rifqi MM. Melalui diskusi dan perdebatan selama satu setengah minggu, akhirnya naskah selesai dikerjakan meski masih mengalami proses pengeditan.

Casting kembali dilakukan. Pada saat presentasi awal—yang dilakukan sambil berbuka puasa bersama di Kampus UMY—satu orang aktor mengundurkan diri sehingga naskah tidak bisa dipentaskan secara utuh. Aku merasa ada yang kurang optimal dalam permainan karena persiapan yang kurang matang. Aku belum merasa puas.

Sehabis lebaran, kami kembali berkumpul. Kami menambah beberapa pemain dan kru artistik. Pemain bertambah menjadi duabelas orang, delapan laki-laki dan empat perempuan. Rasanya seperti mulai dari awal lagi. Pada awal pertemuan seluruh tim, sutradara kembali mencoba menjelaskan konsep dan cerita yang ada dalam naskah. Kemudian jadwal latihan mulai dibicarakan. Latihan dibagi menjadi dua sesi: sore dan malam. Sore untuk latihan dasar, malamnya berlatih akting dan baca naskah. Masuknya pemain baru ternyata merubah irama permainan, kami harus beradaptasi lagi dengan mereka. Ini bukan perkara mudah, apalagi adegan sering berubah-ubah, menjadi agak sulit mengingatnya.

Hari berganti hari seiring dengan lika-liku proses kreatif kami. Hari H pementasan pun sudah mulai dekat, tapi beberapa hal teknis pertunjukan belum selesai. Semua yang terlibat proses sudah mulai menyibukkan diri dengan kerja masing-masing. Detik-detik menegangkan akan datang. Pementasan segera dimulai.

Perjalanan mengenali Proses ber-Teater

Yang Membosankan

Pada minggu-minggu awal bergabung di Teater Tangga, aku dan teman-teman menjalani latihan rutin: olah tubuh, vokal, rasa, dan lain sebagainya. Terkadang kami hanya diskusi ngalor ngidul, atau menonton pementasan kelompok lain, tapi kami lebih sering latihan. Meskipun telah ditegaskan berulang-ulang bahwa latihan adalah bagian dari proses, tapi hal itu sering membuatku bosan dan nggak semangat. Ditambah lagi ketika mulai ada naskah, kami harus membaca, menghafal, dan berdiskusi. Sungguh sangat melelahkan. Ketidakhadiran salah satu pemain juga membuat latihan jadi kurang bersemangat. Awal yang membingungkan, aku belum tahu apa yang musti aku lakukan. Akhirnya aku hanya mengikuti ke mana air mengalir.

Yang Mengasyikkan

Meskipun hanya empat orang pemain—ditemani sutradara, penata kostum, dan penata artistik—kami mengawali penjelajahan ke stasiun. Siang itu hujan, kami berangkat dari sanggar naik bus menuju Malioboro. Tempat awal yang kami tuju adalah pasar Beringharjo. Agak lama kami berada di sana hingga hujan tinggal gerimis saja. Sebelumnya aku tak pernah benar-benar mengamati orang-orang di sana. Ini menyenangkan, selain refreshing aku juga dapat pengalaman baru. Perjalanan dilanjutkan ke stasiun Tugu hingga petang dan akhirnya kami pulang.

Setelah pengamatan bersama, kami mendiskusikan hasil amatan, dan menyimpulkan apa saja yang kami temui. Beberapa hari kemudian kami masih menyempatkan diri beberapa kali pergi ke stasiun Lempuyangan dan Tugu, bersama semua pemain. Terkadang kami pergi ke stasiun sendiri-sendiri, siang atau malam Aku sempat beberapa kali ngobrol dengan orang-orang yang ada di sana, untuk mencari hal-hal yang berkaitan dengan peranku. Selain observasi langsung, kami juga beberapa kali menonton film untuk menambah referensi.

Kami kembali berlatih, beberapa kali masih sempat kembali ke kedua stasiun itu. Hingga, pentas pertama (presentasi awal) pun digelar.

Pentas Bagian Kedua

Bergabungnya pemain-pemain baru membuatku semakin bersemangat, sekaligus membuatku bingung berinteraksi dengan permainan. Aku pun sering menemukan kebuntuan saat latihan. Meskipun beberapa kali kami menggunakan metode latihan improvisasi, tapi belum juga  merasa pas dalam bermain. Suasana permainan menjadi semakin tidak karuan. Lalu kami memutuskan untuk kembali ke lapangan untuk kembali melakukan pengamatan.

Beberapa minggu sebelum pementasan, kami melakukan latihan di stasiun. Awalnya di stasiun Tugu. Ketika babak pertama baru berjalan beberapa menit, seorang teman yang berperan sebagai orang gila ditangkap satpam. Dan di akhir babak itu, beberapa orang satpam berlari ke arah kami yang sedang melakukan adegan pertengkaran. Akhirnya kami pun diusir, lalu pergi ke stasiun Lempuyangan. Di sana kondisinya tak jauh berbeda dan tidak memungkinkan kami untuk melakukan latihan. Akhirnya kami pulang.

Dari latihan di stasiun, juga percakapan dengan orang-orang yang ada di sana, kebingunganku dalam bermain selama ini sedikit terjelaskan. Ada suasana yang berbeda di sana. Suasana yang seharusnya kuhadirkan di atas panggung. Selain itu aku jadi punya pengalaman menulis. Barangkali aku tak akan menuliskan ceritaku jika aku tidak duduk dan ngobrol dengan orang-orang di stasiun.

Hasilnya

Adalah sebuah cerita tentang kehidupan orang-orang jaman sekarang. Mereka selalu memikirkan keuntungan dirinya sendiri tanpa melihat keadaan sekitar. Aku berperan sebagai orang desa yang sedang jalan-jalan ke kota, dan terjebak dalam sebuah situasi yang mengantarkannya pada peristiwa-peristiwa aneh yang belum pernah ia ditemui sebelumnya.

Di Semarang kami pentas di dua tempat dan mendapat respon yang berbeda, ada yang senang dan ada yang tidak. Begitu pula di Solo dan Jogja. Tapi mungkin begitulah kesenian, relatif. Pertemuan dengan penonton juga memberi pengaruh dalam permainan −dalam setiap pertunjukan rasanya selalu beda.

Kami masing-masing (di Teater Tangga) punya latar belakang yang berbeda, dan mencoba berinteraksi dalam sebuah tujuan yaitu menjalani proses kreatif dalam teater.

Akhir kata, dalam “Celah, Perjalanan Seorang Pelancong” banyak hal yang aku rasakan. Dari bosen, males, reading yang menjengkelkan, hingga badan pegal-pegal. Tapi beberapa point dalam pengalamanku bermain teater telah kutandai. Mengalami atau setidaknya berada dalam suasana stasiun membuatku sedikit tahu tentang bagaimana harus bermain dalam peranku, meskipun kurang sempurna. Yah, karena sempurna hanya milik Tuhan semata.

* Dhinar Aryo Wicaksono (aktor & ketua Teater Tangga 2008/2010)

(terbit di skAnA volume 09, Maret-Juli 2009)

Next Page »