Interview/Wawancara


[sejenak bincang-bincang dengan Siti Fauziah (Ozi), salah satu sutradara pementasan Monolog Imagined Life, Teater Tangga Universitas Muhammadiyah Yogyakarta]

Oleh: Hindra Setya Rini

Salam hangat buat pembaca skAna yang setia,

Kali ini reporter skAna agak membelok sedikit menghampiri anak-anak muda yang baru memulai debutnya di ranah teater, khususnya yang berniat belajar menjadi sutradara. Kalau biasanya skAnA mengunjungi para tokoh atau kelompok teater yang cukup dikenal keberadaannya di panggung-panggung teater di Jogja, untuk edisi ini kami cukup penasaran dengan mereka anak-anak muda yang pemula. Bincang-bincang ini mencoba mengulik sedikit bagaimana proses pertama mereka menjadi sutradara. Hmm, menarik… Yuk, simak pengalaman apa saja yang akan dibagi di sini…

Imagined Life, bisa diceritakan ini perihal apa?

Ozi:

Hm.. Monolog ini kan dalam rangka studi pentas angkatan baru di Teater Tangga, dan ini menjadi agenda penting untuk belajar mengurus kerja sebagai sebuah tim secara mandiri yang pertama untuk kami. Mandiri di sini dalam arti kami agak mengurangi keterlibatan para senior yang biasanya kuat mencampuri urusan pementasan. Begitu mulanya…

Kalau Imagined Life sendiri, yang artinya adalah “bayangan kehidupan atau hidup yang dibayangkan (diimpikan); yaitu bahagia tanpa derita”, awalnya bermula dari hidup yang dibayangkan pada masing-masing orang di antara kita (baca: tim). Idenya begitu. Aku, Kiki, Dinar, Parto, Septi, yang kebetulan tergabung dalam kepengurusan Teater Tangga periode tahun 2008-2010, kami masing-masing punya harapan yang jelas bahwa setiap orang itu punya —mengutip bahasanya Mas Yudi A.T— “H-U-N-C-H” (karep/keinginan). Dan saat ini kami sedang berjuang mewujudkan cerita-cerita tentang hunch kami… Begitu ceritanya…

Pemilihan naskah yang mewakili ide tema hunch itu, gimana?

Ozi:

Di Imagined Life itu ada 2 pertunjukan yaitu naskah dari Giri Ratomo yang judulnya Sst Diam, lalu karya Teater Tangga sendiri judulnya On Se Ra Conte.

Perihal naskah ini, Sst Diam buatku cukup menarik karena di sisi lain ia sedang membicarakan hunch di luar kami. Meskipun di dalamnya tidak menunjuk jelas siapa tokoh yang dibicarakan tapi ia cukup memberikan rangkuman banyak hal dan kejadian soal kenyataan-kenyataan di sekeliling kami. Cakupannya cukup luas, tidak hanya hunch secara personal tapi hunch yang lebih luas, misal: masyarakat, negara. Sedangkan On Se Ra Conte, adalah tambahan cerita Rahmad Jaka Drill yang dikemas jadi satu dengan cerita masing-masing dari kami (tim). Sekali lagi ini intinya tentang hunch orang-orang yang terlibat dalam proses ini lalu diramu jadi satu naskah cerita. On Se Ra Conte itu sendiri artinya ‘kita saling bercerita’.

Tentang prosesnya, Sst Diam kan naskah sudah ada, jadi aku tinggal edit aja di sana-sini. Di beberapa bagian aku edit atau aku hilangkan. Lalu On Se Ra Conte, masing-masing menulis carita dan setelah itu ditulis ulang menjadi satu naskah cerita oleh Septian Nur Yekti. Kebetulan ia yang paling hobi menulis di antara kami. Hehehe… oh ya, untuk On Se Ra Conte itu yang menyutradarai juga dia, bukan saya.

Siti Fauziah (Ozi)

Proses sampai ke pementasannya?

Ozi:

Prosesnya satu bulan latihan keaktoran. Lumayan cepat, ya? Makanya susah banget. He he… karena ada penyesuaian-penyesuaian lagi soal kerja tim, jadi ya lumayan bikin PANAS! Ha ha ha… tegangan tinggi pokoknya. Oh ya, terlebih aktornya kan baru alias belum pernah ngobrol atau tahu lebih banyak soal teater, dan aku, juga baru pertama kali berproses menjadi sutradara, wuaaah… itu yang banyak menguras pikiran. Tapi yang terpenting buatku dari semuanya itu adalah ini suatu proses pembelajaran bersama… huufh…! he he he…

Kendala atau tantangan apa yang muncul selama proses?

Ozi:

Ini kerja “tim” pertama kali yang semua urusan ditangani sendiri. Aku di penyutradaraan, aktor-aktornya juga baru, tim artistik dan tim produksi yang juga baru belajar dan mencoba mengujikan hasil belajar kami, ditambah dengan kesibukan masing-masing orang yang terlibat dengan aktifitas di luar proses ini. Itu yang lumayan susah, soal kesepakatan jadwal dan sebagainya.

Kalau ini tadi dibilang sebuah pembelajaran bersama, yang paling berharga dari proses ini buatmu, apa?

Ozi:

Ini soal belajar dan soal hunch, dimana semua orang punya keinginan masing-masing untuk menjadi sesuatu yang baik (setidaknya untuk diriku sendiri). Maka jangan pernah berhenti belajar dan dengarkan apa keinginanmu. Lalu, wujudkan “imagined life”mu. Buatku, aku sudah berani lepas dari penilaian jelek and bagus atas apa yang aku lakukan! Horeeee… jadi berani aja, lagi. Nggak kapok, kok! Elek..? Ah, luweeeh…he he…  ;p

Biografi Singkat Ozi

Bernama lengkap Siti Fauziah, lahir di Blitar, 19 Desember 1988. Terlibat dalam proses Teater Tangga sejak pementasan Celah (Perjalanan Seorang Pelancong), dan Cinta Persegi sebagai aktor. Mengikuti program belajar keaktoran Actor Studio 2009 di Teater Garasi dan terlibat dalam pertunjukan Bocah Bajang. Sekarang sedang berproses dalam pertunjukan Medea Media (naskah asli Euripedes, sutradara Naomi Srikandi).

* Hindra Setya Rini, reporter skAnA, aktor Teater Garasi.

(terbit di skAnA volume 12, Mei-September 2010)

Oleh: Hindra Setya Rini*

Sekitar awal bulan Agustus 2009 lalu, saya berkesempatan mengunjungi salah satu pendongeng yang sudah tak asing lagi namanya di ranah seni pertunjukan Indonesia yaitu PM. TOH. Pria yang lahir dan besar di Aceh 40 tahun silam ini bernama asli Agus Nur Amal. Bang Agus, demikian biasanya beliau disapa, mengajak saya untuk ngobrol di galeri PM. TOH di Jl. Rawasari Selatan I No 6, Jakarta Pusat.

Galeri PM. TOH terkesan “ramai”, penuh dengan beragam properti pentas. Properti berukuran kecil sampai besar tersebar rapi memenuhi dinding ruang tengah yang didesain dengan warna-warna cerah menyala. Galeri ini sekaligus juga adalah rumah kontrakan yang dihuni oleh seniman dari berbagai kalangan: tari, teater, dan musik. Tak heran jika berkunjung ke galeri PM. TOH, kita akan disambut oleh sejumlah penghuni rumah yang ramah dan hangat.

Selama kurang lebih tiga jam PM. TOH bercerita dengan santai ihwal perjalanannya di dunia kesenian dan proses-proses kesenimanannya. Dari ceritanya, selain pentas-pentas story telling yang telah dilakukan di kota-kota besar di Indonesia, Bang Agus juga kerap memberikan workshop untuk anak-anak dan remaja. Menurutnya, pertunjukan solo performance (demikian bang Agus menyebutnya—pen) yang ia lakukan tidak dikhususkan untuk kalangan usia tertentu—meski dikenal sebagai pendongeng tidak lantas penontonnya melulu anak-anak. Semua kalangan bisa mengapresiasi karyanya; muda-tua, seniman dan bukan seniman, pegawai dan pekerja kantoran. Mereka semua adalah target penonton yang diharapkan dapat mengapresiasi karya pertunjukan PM. TOH.

Berikut ini beberapa kutipan obrolan bersama bang Agus yang menarik disimak sehubungan dengan proses kesenimanan dan pengalamannya memberi workshop:

Tepatnya kapan Bang Agus mulai memilih story teller sebagai profesi?

Sekitar tahun 1991. Sebelumnya kan aku kuliah di jurusan teater IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Setelah itu aku pulang ke Aceh. Di Aceh model pencerita itu banyak sekali. Jadi setelah aku pikir-pikir, ya kenapa aku nggak memilih story telling itu aja, mendongeng itu. Di kampungku sendiri sudah ada tradisi mendongeng. Ya sudah, aku belajar selama setahun di sana, lalu kembali lagi ke Jakarta tahun 92.

Itu awal mula PM. TOH ada, Bang?

Iya. PM. TOH sendiri adalah nama seorang tokoh tradisi yang ada di Aceh. Beliau pendongeng yang aku kagumi dan dengannnya aku ikut keliling kemana-mana, bantu beliau pentas sekaligus belajar juga. Itu kulakukan selama setahun. Nah, namanya kemudian aku pakai untuk nama panggungku. Beliau senang aja dan nggak keberatan. Tentang solo performance, ya itu lebih pada pilihanku untuk tidak berkelompok. Aku berpikir dengan PM. TOH aku lebih efektif, sederhana, dan murah. Aku nggak susah mikir bagaimana harus mengatur hal-hal sebagaimana kalau kita berkelompok. Dengan ini aku bisa pentas keliling sendiri atau berdua dengan Tedi (asisten sekaligus kru PM. TOH), dan hanya bawa properti yang diperlukan. Sederhana menurutku. Gampang aja ke mana-mana dan nggak repot ini-itu.

Ada bedanya nggak sih, Bang, gaya bertuturmu dengan para penutur tradisi di Aceh itu?

Iya, ada. Waktu itu para pencerita di sana nggak pakai properti. Ya bercerita aja. Hanya PM. TOH yang pakai properti, tapi nggak banyak. Jadi aku mengembangkan gaya PM. TOH itu. Aku tambah jenis propertinya. Ya bisa dilihat kan properti yang aku pakai ini, macam-macam. Plastik, kayu, kertas, barang bekas, perkakas dapur, dan lain-lain. Semua aku manfaatin dan bisa aku mainkan jadi matahari, mobil, gunung, laut, ikan hiu, dan lain sebagainya. Nah, soal cengkok yang biasa aku pakai itu, semua pendongeng di Aceh ya begitu. Berlagu. Tapi aku pakai yang paling dekat aja denganku: mengaji.  Ya aku pakailah cengkok mengaji dalam bertuturku.

Waktu itu bagaimana apresiasi para penutur tradisi atas bentuk yang Bang Agus bawakan?

Ya, apresiasinya bagus, mereka sangat mendukung. Sebagai anak muda saat itu, yang tua merasa senang karena seperti ada yang baru nih buat mereka. Dan memang sebelum balik ke Jakarta lagi, aku sempat mengundang mereka untuk kumintai pendapat. Aku juga ingin tau respon mereka. Tanggapan mereka positif, lalu aku mulai berkiprah di Jakarta. Tahun 1992 itu, sambutan di sini (Jakarta—pen) antusias sekali. Mereka—penonton Jakarta—merasa surprise. Mungkin ini bentuk yang segar buat mereka pada saat itu. Belum pernah ada kan sebelumnya? Ya sampai sekarang inilah ceritanya. Begitu…

Bisa cerita tentang proses pembuatan karya, atau workshop-workshop apa aja yang Bang Agus pernah lakukan?

Workshop sering juga. Kadang buat anak-anak, remaja juga pernah; anak SMA di Jakarta, anak-anak paska konflik dan paska gempa di Aceh juga. Tergantung tujuan kita mau ngasih workshop itu untuk apa sih. Barulah kita mulai mencari dari mana untuk memulai. Kalau isunya “panas” kadang butuh beberapa hari untuk bisa sampai pada topik yang akan kita diskusikan. Awalnya pasti aku ajak peserta main-main dulu, adakan permainan-permainan di awal. Lalu baru masuk ke pemetaan lingkungan sosial mereka. Ini perlu karena mereka sendiri harus paham kondisi dan permasalahan yang timbul sebelum sampai pada diskusinya. Dengan memetakan posisi masing-masing itu peserta workshop akan sadar dengan sendirinya dan tau di mana bermulanya persoalan.

Workshop 'kecil' Hindra bersama PM Toh

Salah satu contohnya, Bang?

Dulu aku punya lembaga yang aku dirikan selama sekitar tiga-empat tahun. Programnya menangani tawuran anak-anak SMA di Jakarta. Ada sekitar 300 sekolah kita masuki. Sekarang sudah selesai proyek itu. Nah, ya seperti yang aku bilang tadi, aku mengajak mereka menggambar peta lingkungan sosial mereka. Tentu aja setelah kita kasih permainan-permainan yang membuat mereka lupa pada fokus tawurannya itu dulu. Caranya, aku minta mereka menggambar letak rumah mereka di dinding kelas. Aku tanya mereka tinggal di mana. Di Manggarai, misalnya. Lalu mereka nempelin gambar rumah mereka tapi jaraknya jauh-jauh. Padahal kan itu lokasinya sempit dan rumah penduduk  berdekatan. Aku tanya lagi ke mereka, kok jauh-jauh letaknya? Mereka komplain karena mereka nggak suka dekat-dekat, bising dan sumpek. Nah, dari situ kita masuk diskusi tentang kondisi pemukiman yang padat, yang menyebabkan nggak ada rasa nyaman pribadi. Hawanya marah, curiga dan merasa ada musuh. Lalu satu kampung dengan yang lain merasa ada musuh. Lalu ketemu di jalan, naik satu bus sekolah yang di dalamnya ada rasa saling curiga. Ya diskusi terus bergulir sampai mereka tau duduk perkaranya. Itu kita datangi tiap sekolah lalu dipertemukan di akhir. Ya nggak mudah juga sih, tapi itu berhasil kita lakukan.

Sama juga seperti yang di Aceh. Workshop buat anak paska konflik itu ya sama metode yang aku berikan. Intinya, aku selalu mengajak mereka menggambar situasi sosial mereka dulu sebelum masuk ke isu yang mau dibahas. Lalu terakhir kita memetakan bersama persoalannya, juga solusinya. Dan biasanya di hari-hari terakhir baru cerita-cerita personal biasanya muncul. Terserah kita cerita-cerita mau dibawa ke mana, bisa ke bentuk presentasi tertentu jika memang dibutuhkan. Kemudian anak-anak itu bisa mengekspresikan diri mereka ke hal yang positif. Sebelumnya kan mereka mungkin nggak tau caranya mengeluarkan emosi-emosi mereka itu. Ini salah satu cara aja yang bisa membantu mereka keluar dari situasinya.

Kalau yang proses pertunjukan, Bang?

Oh, ya, masih di Aceh juga nih ceritanya. Paska konflik dan bencana dulu itu, kita bikin pertunjukan keliling. Namanya P.TV. Ini pentas keliling pakai truk mini. Itu kan konsepnya tv, tv main-main, jadi membawa imajinasi orang. Pada tontonan itu seolah-olah kita berada dalam studiolah. Ada reporternya, penyiar tv,  ada acara juga di dalam. Yang main anak-anak kampong yang kita kunjungi. Ada yang main tinju, macam-macamlah. Kita buat aja urutan acaranya. Yang pertama misalnya berita kampung. Terserah mereka mau nulis, terus dibacain. Lalu itu memancing orang-orang untuk rela masuk ke tv. Biasanya ibu-ibu yang mau masuk ke dalam. Kalau di panggung belum tentu orang rela untuk ikut main. Jadi dengan tv ada kesadaran orang untuk main-main. Kalau istrinya masuk, suaminya gak malu. Rela gitu… beda kalau dibuat panggung beneran, mereka malah nggak mau main. Di Aceh, ini cukup berhasil membuat mereka mengungkapkan problem-problem yang terjadi paska konflik. Bahkan interaksi sesama masyarakatnya berlangsung baik. Padahal ini isu yang sensitif namun berhasil diungkap dengan cair dan komunikatif.

* Hindra Setya Rini, reporter skAnA, aktor Teater Garasi

(terbit di skAnA volume 11, Januari-Mei 2010)

*****

Profil Singkat PM. TOH


Nama lengkap: Agus NurAmal.

Lahir di Sabang/Aceh 17 Agustus 1969.

Jalan kaki hobiku, ikan tongkol sembelado makanan kesukaanku. Film favorit: Gone with The Wind. Pengalaman paling mengesankan waktu  lagi e-ek di bandara Zurich, dipanggil namaku lewat information center tapi namanya lagi e ek ya aku cuekin. Akhirnya aku lari

ke pesawat dan hanya aku seorang yang ditunggu. He he…

Tokoh seniman yang kukagumi namanya Udin Pelor. Oh ya, aku mulai menekuni teater sejak kelas lima SD. Memutuskan untuk ber-story telling sejak tahun 1992 dan lulus dari IKJ jurusan teater tahun 1994. Sudah ada sekitar 600 kali mengadakan pertunjukan di berbagai tempat di seluruh Indonesia dan di luar negeri. Pertunjukan dalam berbagai tema dan untuk berbagai kelompok penonton. Proses berkesenian yang paling berkesan buatku yaitu waktu aku membuat pertunjukan dalam rangka rekonsilisasi Hindu-Islam di Desa Sumber Klampok, Bali Barat.  Masyarakat Islam dan Hindu terpecah didorong oleh peristiwa 65. Di sana  aku main selama 4 jam, selesai pentasnya jam 2 pagi. Asyik sekali waktu itu karena sambil main ada yang kasih pisang, dan juga minuman.

Yang paling aku sukai tentu saja ketika melihat penonton senang. Tapi, yang paling nggak kusukai itu kalau habis maen honor tak langsung dikasih. He he…

Harapan atau mimpi katakanlah yang masih ingin kuwujudkan adalah mendirikan institut tukang cerita nusantara.


Oleh: Muhammad Abe*

Oh iya Mas, main aja ke rumah saya di Wonosari, soalnya sekarang saya sudah gak tinggal di Jogja. Nanti sms aja dulu sebelum berangkat, jaga-jaga kalau saya lagi gak di rumah”, begitu jawab Wage Daksinarga ketika skAnA menelepon untuk membuat janji wawancara. Hari Minggu tanggal 29 Juni yang lalu, skAnA bertandang ke rumah Wage Daksinarga di Trowono, kelurahan Karangasem, Paliyan, Gunungkidul, sekitar satu jam perjalanan dari Yogyakarta.

Wage Daksinarga adalah salah satu pendiri Komunitas Sego Gurih yang pada bulan Juni lalu  menggelar pertunjukan KUP di Societet  Militer Taman Budaya Yogyakarta dan di dusun Malangjiwo, Imogiri, Bantul. Kini ia mengaku tidak banyak aktif lagi di dalam Komunitas Sego Gurih karena tempat tinggalnya yang jauh dari Yogyakarta serta kesibukan mengurus rumah tangga bersama istri tercinta dan anak semata wayangnya. Di tengah kesibukannya tersebut ia menulis naskah KUP. “Sebenarnya masih belum selesai. Yang dipentaskan kemarin belum sampai puncak, masih agak panjang lagi seharusnya biar jelas kenapa judulnya KUP”, jawabnya menjelaskan pilihan judul naskahnya.

Wawancara dilakukan di ruang tamu rumah Wage Daksinarga. Di sana tersimpan buku-buku koleksi pribadi Wage, draft naskah karyanya, dan drawing profil dirinya yang disandarkan ke dinding, di atas rak buku. Pertunjukan KUP adalah kemunculan pertama bagi Komunitas Sego Gurih setelah vakum beberapa tahun. Kevakuman itu disebabkan oleh kesibukan Wage dan personil Sego Gurih yang lain dalam pekerjaannya masing-masing

Asal mula Komunitas Sego Gurih itu gimana ceritanya, Mas?

Awal berdirinya saat saya sekolah di SMKI. Ya, dulu kayak ada semacam kecemburuan. Anak-anak jurusan teater itu kan selalu dikalahke sama jurusan tari, pedalangan, dan karawitan; termasuk saat ujian pementasan. Lha lama-lama kita kurang puas dengan pementasan-pementasan di kampus, terus mulai pentas di luar dengan sangat sederhana. Awalnya ya pentas di pinggir rumah, di pinggir sawah, di acara pernikahan, di perpisahan KKN. Prinsipnya temen-temen punya ruang untuk bermain, gitu aja…Di awal-awal Sego Gurih yang terjadi seperti itu. Itu sekitar tahun 1996. Yang sedari awal di Sego Gurih ya saya dan Gundul. Kebetulan juga rumah Gundul di daerah Imogiri menjadi tempat berlatih dan berkumpul Komunitas Sego Gurih.

Gundul, adik kelas Wage di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia/ISI (Wage sempat kuliah setengah semester di sana kemudian masuk jurusan Psikologi Universitas Ahmad Dahlan). Ia dikenal sebagai vokalis Sri Redjeki, grup musik humor yang kemunculannya berawal dari ospek ISI tahun 1998. Menurut Wage kemunculan Sri Redjeki erat kaitannya dengan Komunitas Sego Gurih. Sri Redjeki sering tampil mengawali pertunjukan Komunitas Sego Gurih, menjadi semacam hiburan pembuka. Gundul sangat banyak berperan dalam pertunjukan-pertunjukan Sego Gurih, sebagai aktor maupun dalam hal mencari sponsor pertunjukan. Wage menyebutnya sebagai anak muda dengan dandanan punk yang punya kepedulian pada lingkungan sekitarnya.

Selain saya sama Gundul, ada Yusuf, Wahid, Elyandra, Nanik. Kalau kita pentas dulu biasanya anak-anak Sri Redjeki juga ikut terlibat, terus ada Mata Emprit yang membantu artistik. Dengan teater Payung Imogiri pun kita juga sudah bekerjasama sejak dulu. Mereka itu hitungannya ya lahir dan tumbuh bersama Sego Gurih. Kalau kita pentas banyak teman-teman yang membantu, di pertunjukannya, di musik, atau di artistik. Ya sebenarnya sederhana saja alasannya, karena Sego Gurih itu isinya ya aktor, pemain thok. Kalau disuruh cari uang buat pentas ya kita juga bingung, tapi ya untungnya ada Gundul yang pergaulannya luas.

Kenapa namanya kok Komunitas Sego Gurih?

Nggak ada alasan khusus. Sego gurih itu kan nasi uduk. Kalau pun tidak ada lauk, makan sego gurih atau nasi uduk saja sudah enak. Filosofinya itu; jadi misalnya terpaksa nggak ada lampu pun pentas tetap bisa berjalan.

Sejak kapan Sego Gurih memakai Bahasa Jawa dalam pertunjukan-pertunjukannya?

Dari berdiri sampai sekarang. Pernah sekali dipaksa pentas berbahasa Indonesia untuk festival, tapi ya wagu dan akhirnya juga nggak dapet apa-apa. Kita memang memilih memakai bahasa Jawa. Di Solo dulu ada Teater Gapit yang memakai bahasa Jawa. Saya mengakui kalau saya banyak terpengaruh sama pertunjukan dan naskah-naskah Teater Gapit.

Kami dulu selalu mementaskan naskah Teater Gapit (Bambang Widoyo SP, alm). Sampai sekarang semua naskah Gapit sudah kami pentaskan kecuali Reh sama Tuk. Sebenarnya naskah KUP itu dibuat juga karena itu, karena Sego Gurih selalu mementaskan karya-karya Gapit, dan mereka sudah bubar sekarang. Terus teman-teman mengusulkan pada saya untuk menulis naskah sendiri yang juga memasukkan logat Gunungkidul, kaya “neh”, “gek”, ya idiom-idiom kecil kayak gitu untuk memunculkan ciri khas kami. Ya terus saya tulis KUP.

Sebenarnya obrolan untuk pentas lagi itu sudah sangat lama, tapi dulu bukan KUP. Rencananya mau pentas Malam Jahanam yang diadaptasi jadi bahasa Jawa, judulnya “Sedulur Mulur Tangga Eco”. Nah, waktu itu karena satu-satunya aktor wanita yang harusnya main lulus audisi  sinetron atau film di Jakarta ya dengan sangat terpaksa kita batal pentas. Terus kebetulan KUP waktu itu sudah mulai saya tulis tapi belum tahu mau dipentaskan kapan. Ya terus kemarin dipentaskan di Bantul dan di Gedung Societet TBY, sutradaranya Wahid, aktornya sebagian dari Sego Gurih lawas sebagian lagi kita dibantu sama anak-anak Jurusan Teater ISI teman kita dulu. Kita juga sebenarnya gak pernah ngimpi bisa pentas di gedung pertunjukan kaya Societet sebelum ini. Ya sudah disyukuri aja.

Ending KUP menggambarkan ada seseorang yang bunuh diri, ada kaitannya sama latar belakang Mas Wage sebagai orang Gunungkidul?

Ya ending-nya itu Mbah Sarju nggantung. Itu kan kelihatannya kalah tapi sebenarnya menang. Karena apa? Karena persiapan untuk menggantung itu kan membutuhkan keberanian yang luar biasa. Siapa yang berani gantung diri, nah kui sing wani menang. Ending itu kunci dan identitas saya sebagai orang Gunungkidul asli. Orang gantung diri itu berarti dia punya privasi yang luar biasa, butuh ruang  yang benar-benar tidak terlihat, sendirian, dan kemudian memutuskan berani untuk nggantung. Itu yang sebenarnya ingin saya tekankan dalam pertunjukan kemarin. Cuma memang di atas panggung itu belum tertegaskan. Harusnya ada siluet yang menggambarkan orang gantung diri, tapi pas pentas di Societet itu belum begitu kelihatan.

Sebenarnya KUP mau dipentaskan keliling ke beberapa kota, tapi karena sponsornya mundur ya pentas itu dibatalkan. Wong kita sudah biasa main di halaman rumah orang, dengan perlengkapan seadanya kok, masak kali ini kita gak bisa. Makanya saya juga agak kaget pas diberitahu mau main di Societet, ya itu tadi disyukuri aja. Ya tapi masih banyak yang harus diperbaiki dari pentas kemarin.

Pendapat Mas Wage soal teater Jogja sekarang?

Teater itu arep dikapakke meneh yo? Tahun-tahun ini nek aku ngarani kaya matinya teater. Ya terus arep apa meneh yo teater saiki? Kalau dulu kampus-kampus itu kan masih banyak yang pentas, tapi sekarang kok ya sulit ya. Mungkin ada banyak teater kampus ya, mereka juga katanya sering pentas, tapi kok gak kelihatan hasilnya. Aku ki yo sok anyel nek ketemu cah teater kampus, mereka kui kok ora duwe tujuan melu teater. Nah itu kan motivasinya gak jelas tho. Sebenarnya gampang lho, kita masuk teater itu gak harus jadi aktor, atau pemain, atau harus jadi apa. Kalau ikut teater itu yang penting yakinlah dan percayalah bahwa teater ada manfaat dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari kita dalam banyak hal. Nah itu yang pasti. Tapi ya itu yang sulit; membuat teman-teman paham soal itu.

Disuguh dengan teh hangat dan klethikan khas Gunungkidul, wawancara berlangsung hangat selama lebih dari dua jam. Wage juga sempat menunjukkan koleksi perpustakaan pribadi miliknya, yang terdiri dari kliping majalah-majalah lama hingga novel karya terbaru rekan-rekannya. Wage yang kini menghidupi keluarganya dengan menjadi sopir truk, sebenarnya juga sedang mengerjakan novel yang, menurutnya, masih belum selesai juga setelah beberapa tahun ditulis. Ia mengaku masih terus berusaha untuk menjaga semangat berkesenian dengan menyempatkan diri membaca-baca buku kalau lagi istirahat di rumah. Di truknya, ia menyimpan Kitab Injil yang selalu ia baca sembari menunggu barang angkutannya diturunkan.

Hmm, sepertinya Wage meninggalkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab, “Apakah teater benar-benar akan mati?” Tentunya publik teater Yogyakarta yang berhak memberikan jawaban dengan pertunjukan-pertunjukan teater yang menunjukkan teater masih dan bisa terus hidup. Kebetulan penulis sempat membaca tulisan Arifin C. Noer beberapa hari setelah wawancara dan ingin mengutipnya sebagai penutup di sini; “Hidup itu seru, karena itu teater dibuat.” Mungkin ini bisa membantu kita membuat jawaban atas pertanyaan Wage Daksinarga.

* Muhammad Anis Ba’asyin, reporter skAnA, pernah aktif di Teater Gadjah Mada

(terbit di skAnA volume 10, Juli-November 2009)

>> wawancara dengan para aktor, sutradara, dan ketua Teater Seriboe Djendela


Oleh: Hindra Setya Rini*

Pukul lima sore lewat sepuluh menit, di kantin kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, awak skAna berkesempatan bercengkrama bersama teman-teman dari Teater Seriboe Djendela (TSD). Kami, yang berjumlah lebih dari sepuluh orang, duduk melingkar di sebuah meja yang cukup besar. Kebetulan sore itu anggota TSD sedang bersiap untuk latihan. Mereka mempersiapkan sebuah pertunjukan teater yang akan dipentaskan dalam tiga bulan ke depan. Maka, dalam edisi kali ini skAnA tertarik mengintip proses latihannya yang sudah berlangsung 12 kali. Yuk, kita simak apa kata mereka tentang proses teaternya kali ini…

Bisa cerita ide awal proses TSD kali ini?

Donny (sutradara):

Ini idenya perihal tubuh. Ya lebih dekat ke pantomim. Berangkat dari novelnya Michael Ende yang berjudul Momo. Itu ceritanya tentang anak kecil yang nggak bisa menjadi dewasa dan tua. Ia tinggal di sebuah desa, di sebuah bekas reruntuhan Amphiteater. Setiap harinya ia diberi makan sama orang-orang desa. Orang-orang desa sering berkunjung ke tempatnya, duduk mengobrol, hingga rutinitas itu menjadi yang sekarang kita sebut zaman. Suatu ketika datanglah penjahat waktu. Ia meminta manusia untuk menabung waktunya. Sebenarnya dalam hal ini waktu itu dicuri. Nah, aku mengambil hal ini lalu kutabrakkan dengan konteks sekarang. Ya zaman modern ini kan orang-orang pada sibuk. Gitu sih, ceritanya.

Selama 12 kali latihan, yang sudah dilakukan apa saja dalam mewujudkan ide itu?

Donny:

Kita mengundang fasilitator dari luar, Mas Ari “Inyong” Dwiyanto untuk melatih teman-teman aktor. Kita latihan dasar-dasar mime. Ya, selama 12 kali latihan ini kita masih nggedor tubuh. Agak keras tekanannya di tubuh dibandingkan proses-proses sebelumnya.

Metode yang dipakai?

Donny:

Oh iya, selain itu, yang aku lakukan waktu latihan, aku mengambil kata-kata yang kira-kira berhubungan dengan tema. Aku sodorkan ke aktor, dan aktor mulai mewujudkannya di tubuh. Ini nggak pakai naskah. Jadi aku pegang temanya, lalu ngambil kata-kata yang mewakili tema itu, dan aktor merepresentasikannya ke tubuh. Di akhir, aku tinggal memunguti dan merangkainya jadi alur peristiwa. Untuk ini kan aku nggak bikin seluruh cerita Momo itu, aku cuma ngambil bagian orang-orang desa tak lagi mengunjungi Momo. Saat Momo sendiri. Nah kemungkinan gerak-gerak di momen itu yang coba diwujudkan.

Bagaimana kesan aktor-aktor selama 12 kali latihan ini?

Fred (Ketua TSD sekaligus aktor):

Mm, ya masih belajar basic mime, sih. Mengolah tubuh, rasa, imajinasi, dan konsepnya.

Via:

Masih belajar gimana cara jalan yang di pantomim-pantomim itu lho… Capek sih, tapi senang dapet pengalaman baru. Oh ya, pertama bingung mau gimana geraknya karena tubuhku belum lentur kayak yang lain.

Ardi:

Wah, pertama kaget. Soalnya latihan tubuhnya lebih berat dari proses sebelumnya. Loncat-loncat, dan latihan fisiknya lebih dari biasanya. Selama ini masih sering merasa kesulitan karena tubuh bagian bahuku itu masih kaku. Tapi, senangnya sih sekarang jadi dapat teman-teman baru. Sebelumnya kan prosesnya per kelompok, jadi nggak kenal banyak teman.

Helga:

Seperti yang lain aku juga jadi tambah pengalaman baru. Ya capek juga, kita pernah seharian latihan khusus fisik aja. Hm, tapi yang aku suka adalah gerakan yang kayak dance, gitu…

Ley:

Sangat menyenangkan, berat badanku bisa turun. Haha.. Jadi sehat. Selain pengalaman ya sekarang aku jadi lebih tahu perihal pantomime dan teater.

Yuli a.k.a Ogep:

Kaget. Dulu di awal masuk aja aku sempat sakit. Fisik nggak kuat, tenaga terkuras habis.

Iyut (Tim Produksi, yang sebelumnya juga aktor):

Senengnya banyak teman baru, capeknya ya ini kayak latihan ulang. Proses sama orang yang terus baru per tahunnya. Paling susah ngumpulin orang yang bisa bertahan lama meskipun nggak ada pentas. Biasalah, seleksi alam. Ini aja awalnya ada 50 anggota baru, yang bertahan tinggal 20an orang sekarang.

Ada treatment yang dianjurkan ke aktor-aktor baru ini, nggak?

Donny:

Iya, pasti. Mereka kuanjurkan nonton film, rajin ikut diskusi, observasi, dan banyak baca buku. Yang paling sulit itu baca buku. Dan sebagai sutradara, aku juga sudah terbiasa stress menghadapi anak-anak baru ini. Hehehe…

Oh ya, kebetulan fasilitator ada di sini, bisa cerita tentang latihannya, Mas?

Ari “Inyong”:

Saya sebenarnya juga berterima kasih dengan TSD, karena ini juga jadi tempat belajar saya. Ini juga baru buat saya, jadi saya mencoba merumuskan metode mime dan teater di sini. Ya seperti menyusun metode latihan dasar yang ada di mime dan yang pernah saya peroleh dari teater juga, begitu. Hmm, ya kesannya mereka jadi tempat percobaan saya, hahahaha…

Oke, ngomong-ngomong kapan sih rencana pentasnya?

Donny:

Bulan Mei tanggal 14-15.

Iyut & para aktor:

Itu pas ultahnya TSD, lho… Jadi ini sekalian memperingati satu dekade Teater Seriboe Djendela. Datang ya…

Anggota Teater Seriboe Djendela

Sekilas tentang Teater Seriboe Djendela…

Awalnya sebelum Teater Seriboe Djendela berdiri, pada tahun 1997 di Sanata Dharma didirikan semacam grup ketoprak bernama Sadar Budaya. Kemudian sekitar tahun 1998, entah bagaimana mulanya, Nano, Dudik, dan beberapa teman mendirikan teater kampus. yang kemudian diberi nama Teater Seriboe Djendela (TSD). Seriboe Djendela adalah semacam ikon Universitas Sanata Dharma yang memang bangunannya punya banyak sekali jendela, pada masa itu sampai sekarang.

Tahun ini telah genap satu dekade usia TSD dan sudah mengalami sepuluh kali regenerasi. Selain sedang mempersiapkan pentas satu dekadenya, TSD menjalankan program rutin berupa rapat keluarga (perekrutan dan pelantikan anggota baru), expo, dan pementasan minimal satu kali setahun.

Sekilas harapan para anggota untuk TSD…

TSD berharap ke depannya kampus Universitas Sanata Dharma punya auditorium sehingga mereka punya tempat latihan di kampus. Para anggota sendiri berharap bisa lebih maju dalam kualitas keaktorannya, produksi berjalan lancar, bisa dikenal di kancah perteateran, dan terus membuat karya.

Selamat buat Teater Seriboe Djendela, selamat ulang tahun yang ke sepuluh di bulan Mei, dan selamat berkarya. Tetap semangat! –awak skAnA.

* Hindra Setya Rini, reporter skAnA, aktor Teater Garasi

(terbit di skAnA volume 09, Maret-Juli 2009)

>> Wawancara bersama Sutradara pementasan SAC: Holocaust Rising, Rosa Rosadi

Oleh: Hindra Setya Rini*

Pada edisi ini, skAnA berkesempatan menemui sutradara pementasan Holocaust Rising yang digelar pada 14-15 Oktober 2008 di gedung Societet Militer, Taman Budaya Yogyakarta. Rukman Rosadi, yang biasa disapa dengan Rossaini, selain sebagai aktor, ia sutradara sekaligus penggiat teater yang cukup produktif di Yogyakarta, bersama klub teaternya: Saturday Acting Club (SAC). Berikut bincang-bincang kami seputar Holocaust Rising, yang berbeda sekali dari pementasan SAC sebelumnya, yang lebih dikenal dengan akting realisnya.

skAnA: Niat awal mementaskan Holocaust ini, apa sih, Mas?

Rosa: Awalnya, ya aku melihat banyak fenomena di sekitarku. Fenomena kekerasan, dan ada satu cerita yang sangat personal yang begitu dekat denganku. Sebuah keluarga yang selalu hidupnya penuh kekerasan. Gila menurutku, jangan-jangan di luar sana ada lebih banyak lagi bentuk kekerasan yang lebih parah. Terus aku lihat kekerasan-kekerasan di tivi, yang aku sendiri sadar jangan-jangan aku juga ada dalam suatu perubahan itu. Masuk dalam bentuk kekerasan yang lain. Misalnya, aku bisa enak-enak aja ketika melihat kekerasan di tivi-tivi itu. Nah, ini gila. Kekerasan itu sudah seperti makanan sehari-hari, jadi kita merasa ingin menonton yang lebih dan lebih keras lagi karena sudah biasa. Jangan-jangan ada banyak orang melakukan kekerasan karena meniru dari tivi. Benar nggak ya, ini? Ya sudah, aku berniat bikin garapan yang ngomongin soal ini. Lalu aku pikir-pikir apa yang cocok dengan tema kekerasan ini. Lantas aku melihat ke belakang, aku ingat peristiwa besarnya perihal kekerasan. Aku ingat Holocaust itu, naskah dari Jerman, yang aku pikir juga ada kemiripan dengan peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi sekarang ini.

skAnA: Bisa cerita sedikit tentang Holocaust itu, Mas?

Rosa: Holocoust itu asalnya dari bahasa Yunani Holocauston, yang artinya kalau nggak salah adalah persembahan yang memberangus habis. Semacam suatu peristiwa persembahan, tapi harus menghabiskan orang. Memberangus orang atau membakar orang. Itu awalnya Holocauston itu. Namun, istilah Holocaust itu menjadi popular ketika peristiwa Nazi. Ada 6 juta yang diberitakan mati, bahkan ada kabar 11 juta. Nah, itu memberanguskan Yahudi pada zaman itu. Di luar urusan politik segala macam yang melatari peristiwa itu, yang masih tetap kontroversial, ya aku ngambil peristiwa pembantaiannya aja.

Nah, di negara kita kan juga ada peristiwa serupa. PKI, misalnya. Ada banyak orang mati, sebenarnya, cuma sejarah kan yang masih nggak beres. Nah sekarang sebenarnya juga dapat dilihat kan, pembenaran-pembenaran yang melatari kekerasan itu; pembenaran atas nama ras, golongan, dan lain-lain, bahkan agama.  Kebeneran menjadi alat untuk menuju superioritas. Merasa agamanya paling benar, golongannya paling benar. Dari sanalah, kondisi itu memudahkan orang menyalahkan orang lain, golongan lain, serta mengakibatkan orang bisa membunuh orang lain atau melakukan kekerasan pada orang lain. Yang menurutnya salah, ya dihabisi. Saat ini, agama sebagai benteng terakhir ternyata juga bobol.

Nah, inilah yang membuatku merasa perlu menyampaikan ini pada penontonku. Ngomongin perihal peristiwa ini. Jangan-jangan banyak yang mengabaikan hal-hal ini yang nyata ada di sekitar kita. Setidaknya aku mengabarkan kepada mereka, inilah yang terjadi di sekitar kita. Jangan-jangan itu juga yang sedang mengubah karakter kita; anak-anak jadi lebih keras, orang-orang jadi punya ketegaan yang lebih besar, yang itu menurutku perubahan karakter yang banyak dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya ya berita-berita kriminal itu, yang seharusnya kita empati, eh jadi enggak karena setiap hari kita sudah terbiasa. Kita jadi kebal dan menganggap itu biasa.

skAnA: Kemudian naskahnya sendiri gimana, Mas?

Rosa: Nah, lalu aku mencari naskah apa yang mengakomodir kegelisahanku. Ternyata nggak ada, ya jadinya bikin sendiri. Biar terasa lebih dekat untuk membicarakan soal-soal itu, ya lebih baik kalau bikin sendiri. Jadilah judul Holocaust Rising. Awalnya Holocaust A Rising, tapi kurang tajam. Jadi Holocaust Rising aja, yang artinya munculnya bibit-bibit Holocaust.

skAnA: Salah satu adegan di ruang keluarga yang sempat diulang-ulang itu merupakan potret kekerasan yang diambil kan, Mas? Ada maksud tertentu atas repetisi itu?

Rosa: Ya. Itu adegan yang memang sengaja disangatkan. Menurutku, kadang sekali aja nggak cukup. Orang bisa lupa atau cuma melihat sekilas. Jadi itu pengulangan yang tujuannya agar apa yang kami ingin sampaikan benar-benar sampai. Sangat sampai kepada penonton. Bukan bermaksud membodohi penonton dengan berita-berita pengulangan. Seperti salah satu monolog tokoh di adegan itu yang sangat ditekankan, “Pertempuran bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, tidak pernah membosankan, tidak pernah menjenuhkan, karena binatang di dalam dirimu dibiarkan keluar kandang.” Ya, aku menganggap manusia punya sifat binatang masing-masing. Kita tahu hukum atau konstruksi binatang, yang kuat memakan yang lemah.

skAnA: Itu kemudian diturunkan ke bentuk akting ya, mas? Bagaimana dengan aktor?

Rosa: Mm.. karena ini klub akting ya, bukan directing, maka aku memang pengennya nggak hanya pada satu style akting tertentu. Misalnya realis atau apa gitu. Inginnya menjelajahi kemungkinan akting. Di Holocaust kan banyak sekali style aktingnya; ada realis, ada tubuh. Aku berpikir untuk mengawinkan yang lama, yang baru, atau mencampur keduanya itu. Naskah ini membuka kemungkinan itu. Di sana ada tokoh orang desa, orang modern juga. Bahkan berkaitan dengan tema, aku jadi merasa bibit-bibit Holocaust itu juga bisa ada di pelosok sekalipun. Ini melahirkan pola-pola akting yang kaya juga.

skAnA: Bagaimana prosesnya, Mas?

Rosa: Teks ini berjalan sambil latihan, dan memang agak berat buat aktor-aktornya. Lalu aku mengambil beberapa strategi yang aku pikir itu cepat, karena waktunya cuma dua bulan. Aku langsung membagi-bagi metode sesuai dengan kebutuhan. Misalnya; latihan fashion show, latihan tubuh binatang, dan lain-lain. Itu latihan dulu tanpa naskah. Aktor lalu menawarkan dan kalau pas (cocok), itu yang diambil. Ya aktor melakukan dulu, dan nggak usah banyak tanya. Aku cuma bilang itu akan dipakai di adegan, jadi lakukan saja dulu. Sembari aku menyusun naskahnya secara keseluruhan. Setelah beres, aku kasih konstruksi cerita, lalu terakhir ngasih isi dan meyakini apa yang sudah dilakukan. Observasi binatang lewat nonton video, dan kekerasan bisa dibaca di koran-koran, lalu kita mendiskusikannya. Ya ini ditempuh karena waktunya pendek, jadi setiap hari latihan selama 6 jam. Aku sangat terbantu karena ada asistenku, Gogon. Aku sangat terbantu karena aku juga ngerjain naskahnya disamping kesibukan yang lain. Mm.. soal naskah sendiri juga sangat padat dan agak berat. Ada banyak penjelasan yang nggak sempat dimunculkan di naskah karena memang dipadatkan. Tapi nggak apa-apa, aku biarin ajalah. Penonton mau menangkap yang mana, terserah penontonnya. Aku percaya penonton juga pintar.

skAnA: Rencana setelah ini?

Rosa: Holocaust akan dipentaskan lagi, bulan Februari. Tapi akhir Desember ini pentas lagi dengan naskah yang lain. Tetap naskah sendiri. Kita juga memang konsen di akting. Ke depan ini memang kita ingin menjelajahi akting seluas-luasnya. Lalu teknik yang akan digunakan jadi tantangan buat teman-teman aktor.

skAnA: Bisa cerita tentang idenya, Mas?

Rosa: Ya, kita akan pentas di Kedai Kebun Forum, dan kita nggak pakai setting apapun. Ruang kosong. Aktor yang biasa keluar masuk lewat side wing, mereka akan menempel di tembok atau dinding. Membentuk relief-relief yang menyusun cerita sendiri. Ya itu salah satunya. Sekarang para aktor sudah observasi ke candi-candi, mempelajari relief dan cerita-cerita yang ada di dinding-dinding candi itu. Itu aja dulu, tunggu tanggal mainnya ya.

* Hindra Setya Rini, reporter skAnA, aktor Teater Garasi

(terbit di skAnA volume 08, November 2008 – Maret 2009)

*****

Sekilas Profil

Nama                               : Rukman Rosadi (Rossa)

Alamat                            : Jl. Suryodiningratan MJ 2/916 Yogyakarta

E-mail                              : rosadi999@yahoo.com

Mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, jurusan teater sejak 1998 hingga sekarang. Mengampu mata kuliah: Dasar-dasar Akting, Akting Realisme, Monolog, Teori Akting, Olah Tubuh, Penyutradaraan Realisme.

Tiga tahun terakhir, sebagai aktor terlibat dalam pentas rekonstruksi BIP BOP, sebagai Oidipus dalam Oidipus Tyranos bekerjasama dengan seniman-seniman Australia. Sebagai sutradara dan penulisL Children First, Smoke and Ice Cream, Zero Matrix, Heart Poison, Holocaust Rising, Come and Go (Beckett), Le Guichet (Jean Tardieu), Lithuania (Rupert Brook).

Next Page »