Oleh: Andy Sri Wahyudi
Suara jerit anak-anak kecil, celetukan pemuda, rumpian ibu-ibu, dan pedagang tiban menawarkan dagangan menghiasi sebuah gang. Ramai, guyup, dan meriah di bawah terang sinar bulan. Suasana itulah yang hadir dalam penyelenggaraan pementasan “Suk-suk Peng” karya Bambang Widoyo SP yang dibawakan oleh Komunitas Sego Gurih. Suasana layaknya pesta rakyat tersebut terjadi pada tanggal 14 Juli 2010 di Sanggar Omah Opak yang berada di dusun Karang Ploso, Sitimulyo, Piyungan, Bantul.
Suk-suk Peng menggambarkan semangat bertahan hidup orang-orang yang sering disebut kurang beruntung di tengah jaman yang dikuasai modal. Pelok (Ibnu “Gundul” Widodo) seorang loper koran, Emak (Nurul Jamilah) si tukang kerok, dan Jarot (Suhunan “Kadir” Hamzah) si preman kampung; mereka adalah tokoh-tokoh kaum tersingkir yang menjadi korban derap pembangunan. Di sisi lain Ndoro Kakung (Elyandra) dan Ndoro Putri (Aditta Dea Mastro) adalah tokoh-tokoh yang hidupberkecukupan di rumah mewah dengan pembantu centil bernama Klenyem (Si Y).
Cerita diawali percakapan santai antara Emak dan Pelok perihal kerasnya hidup yang harus dihadapi. Kemudian Jarot dengan sikap yang semaunya sendiri datang menanyakan keberadaan pacarnya. Konflik mulai tumbuh ketika Pelok berkasih-kasihan dengan Klenyem dan akhirnya menghadapi kenyataan cintanya kandas lantaran Ndoro Kakung telah menghamili Klenyem. Sementara itu, Prasojo (anak Ndoro Kakung) mempunyai hubungan dengan pelacur yang berstatus pacar Jarot. Hal itu membuat Jarot marah besar lalu melabrak ke rumah Ndoro Kakung, hendak membuat perhitungan dengan Prasojo. Cerita berakhir tragis ketika Ndoro Kakung dan Ndoro Putri mati lantaran tak sanggup menghadapi permasalahan itu.
Dua Titik yang Menggairahkan Penonton
Ruang pementasan dibagi menjadi beberapa titik, namun ruang inti berada di dua tempat yakni di beranda rumah kepala dusun dan di bekas reruntuhan bangunan berlatar kebun pisang yang terletak di seberang rumah, yang juga menjadi tempat para pemusik. Panggung dibelah oleh gang yang dijadikan sebagai tempat penonton.
Perpindahan adegan yang sering kali terjadi dengan tiba-tiba sering membuat penonton dibuat bingung namun justru membangkitkan susanana yang segar. Misalnya, ketika adegan Emak dan Pelok yang sedang bercakap-cakap tiba-tiba adegan berganti di beranda yang menggambarkan rumah Ndoro Kakung. Maka penonton seperti diberi aba-aba memutar tubuhnya dan merespon dengan gerutu yang sekenanya, “Woo..lha pindah nggon to dramane? Wah Jyaan…”, begitu ucap salah seorang ibu. Perpindahan itu tak hanya terjadi sekali dua kali, namun beberapa kali, bahkan ada adegan yang terjadi di tempat duduk penonton. Suasana menjadi sangat cair dan menggembirakan, ketika anak-anak merespon hal itu dengan sesekali mengganggu aktor yang sedang berakting di antara penonton.
Permainan ruang yang diusung Sego Gurih ini disebut sapit urang, menurut Yusuf Abdilah, sang sutradara. Penonton dibuat terjebak ketika terjadi pembalikan arena permainan. Tak seperti pementasan pada umumnya: pemain dikepung penonton, namun dalam pementasan ini justru pemain mengepung penonton. Penonton sengaja dijebak ke dalam dunia panggung yang biasanya berjarak. Strategi ini menjadikan adegan tampak hidup lantaran penonton memberikan kontribusi “gangguan” yang segera direspon oleh aktor. Suasana semakin seru ketika para pemusik yang selain menghidupkan adegan dengan aransemen musiknya yang kocak juga turut mengomentari pemain. Di sini kemampuan aktor dalam menghidupkan peristiwa dan cerita benar-benar diuji.
Pementasan Suk-suk Peng ini tak hanya dipentaskan di Sanggar Omah Opak saja, namun juga di empat tempat yang lain yaitu Balai Budaya Samirono, Tembi Rumah Budaya, di dusun Bantar (Bangun Cipto, Sentolo, Kulonprogo) dan terakhir di Wirosaban; yang masing-masing mempunyai karakteristik ruang tersendiri. Sebelum bermain, teman-teman dari Komunitas Sego Gurih ini memilih ruang kemudian membuat pola permainan dengan mengedepankan akting para aktornya. Mereka bermain dengan spirit tradisi yang membebaskan dari pernak-pernik teknis pementasan teater modern; bermain dengan memanfaatkan ruang dan benda-benda yang dapat digunakan sehingga panggung menjadi lebih luwes dan menggembirakan. Penonton pun lebih bergairah menikmati pementasan sekaligus menjadi bagian dari peristiwa teater. Hal ini seturut cara mereka memaknai ruang sebagai tempat terjadinya proses komunikasi yang terjalin dari niat, kerja, ide, hingga terjadi peristiwa.
(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)
Tim Kerja Suk-suk Peng:
Pimpinan Produksi: Febrian Eko Mulyono/ Creative Design Publikasi: “Clown” Syndicate/ Sutradara: Yusuf “Pecel Peci Miring”/ Pemain: Ibnu “Gundul” Widodo, Elyandra, Si Y, Nurul Jamila, Suhunan Hamzah/ Penata Setting: Beni Wardoyo, Ujang, Wawan/ Penata Cahaya: Dwi Vian/ Make Up&Kostum: Dhani Brain/ Stage Manager: Febrian Eko Mulyono/ Manager Latihan: Resti/ Pemusik: Ki Sawito , Dadang,Katrok, Tony Steve, dkk.
Komentar Penonton:
Aktris yang jadi emak keren, aktingnya natural tidak dibuat-buat dan bisa merespon penonton. (Astuti, 30 tahun, bekerja di LSM anak)
Asyik deh…merasakan proses pertemuan naskah dan masyarakat. (Mucklas, 27 tahun, pemuda desa Karang Ploso)
Bagus, mereka bisa menjadikan kesalahan drama menjadi salah satu bentuk interaksi terhadap penonton. Dan itu sangat bagus. PD ABIS… (Mas Yanto, 20 tahun, bekerja sebagai volunter di Sekolah Mbrosot, Kulon Progo)