Oleh : Andy Sri Wahyudi

Tepat pukul 20:00 WIB pada tanggal 23 Juli 2010 di ruang perpustakaan Bengkel Mime Theatre, ada sebuah  pementasan mini dengan penonton 15 orang. Rendra Bagus Pamungkas, aktor yang aktif di komunitas Seni Teku dan Teater Gandrik Muda menggelar pentas monolog berjudul Et Urinoir. Dalam ruang berukuran 6 x 4 meter tersebut, area yang digunakan sebagai panggung pementasan hanya 2 x 4 meter. Kecil dan sempit memang, akan tetapi aktor tampak bebas bermain dalam ruang tersebut.

Panggung yang semula adalah ruang berdinding batu bata, beratap anyaman kulit bambu, berjendela, dan berpintu itu ditutup dengan kardus yang dicat warna hitam. Di atas warna hitam itu ditempelkan kubus, bujur sangkar, persegi panjang, dan kerucut warna-warni sehingga tampak tonjolan-tonjolan yang menghidupkan ruang gelap tersebut. Pada dinding di sisi belakang penonton dilukis sebuah gambar sayap malaikat berwarna pink. Pada lantai juga diletakkan kubus-kubus berwarna hijau yang tersebar acak. Ruang kecil itu berubah menjadi dunia fantasi yang berpenghuni mahkluk aneh: manusia berkulit putih sapi, berpakaian daster dengan bawahan lebar, berkepala botak ―hanya menyisakan rambut belakang yang dikepang dua panjang, kaku mencuat ke samping kanan dan kiri.

Rendra Bagus Pamungkas dalam Et Urinoir

Tokoh dalam Et Urinoir tak jelas jenis kelaminnya; ia semacam gambaran potret diri yang tengah mencari identitas hidupnya. Ia bercerita perihal perjalanan yang tak kunjung selesai dan menemui banyak pertanyaan dalam hidupnya. Ia begitu kesepian dalam perjalanan meski bertemu dengan banyak hal yang aneh: Angin Merah Jambu, Tomat Sombong, dan Paman Gajah. Pertemuan itu adalah gambaran kebingungannya sendiri, ia seperti dihadapkan dengan simbol-simbol hidup yang meresahkan.

Teks cerita ditulis dengan imajinasi yang atraktif:

Aku hanya ingin bertanya tentang angin merah jambu di sepetak tanah kecil dan apa yang sedang mereka bicarakan.

Tahukah kau berapa jumlah jari-jariku, kenapa perutku menjadi buncit? Tahukah kau mengapa aku mengambang di atas teratai? Dan tahukah kau mengapa aku tak pernah tergelincir meski aku berjalan di atas bola yang terbuat dari kulit pisang?

Begitulah sepenggal percakapan yang kerap diulang tanpa kepastian ujung. Kepastian yang masih dirahasia. Yapz! seperti judulnya , Et Urinoir―yang artinya tempat untuk buang air kecil―dimaknai sebagai dunia kecil yang sangat rahasia, hanya kita yang tahu.

Lahirnya Ruang dan Musik

Tim kerja dalam pementasan Et Urinoir ini tidak banyak, hanya terdiri dari Rendra Bagus Pamungkas sebagai penulis teks sekaligus pemain, Miftaqul Effendi dan Dino sebagai penata setting, dan Lintang sebagai penata musik. Awalnya, Rendra mengajukan teks kepada penata setting dan penata musik, dan dari pembacaan itu muncul imajinasi ruang dan musik. Miftaqul Effendi mengemukakan gagasan ruang kecil dengan ornamen-ornamen bangun matematika. Visual set panggung terinspirasi dari teks yang atraktif dan kekanakan yang kemudian diwujudkan menjadi ruang fantasi yang dasar idenya adalah ruang yang melawan gravitasi. Tak ada batas antara atap, lantai, dan dinding; semua berisi ornamen yang setipe. Sejujurnya imajinasi ruang tersebut menghendaki pemain menginjakkan kakinya di mana saja.

Musik turut berperan dalam mewujudkan dunia baru yang dikehendaki teks. Lintang menggunakan musik “Chiptune”, mirip bunyi dalam game Nitendo, yang diperdengarkan sesekali. Lintang menghadirkan musik dengan volume yang tidak melulu keras namun kadang lirih, sehingga permainan menjadi berirama. Ruang kecil itu semakin kuat membangkitkan imaji dunia fantasi ketika berpadu dengan musik. Untuk menambah kuat kesan fantasi pada pementasan ini, penonton yang hadir dihadiahi sebatang  permen lolipop dari gulali dan kacamata tiga dimensi.

Sementara sebagai aktor, Rendra berusaha memacu imajinasinya untuk memaksimalkan gerak tubuh tanpa harus mengada-ada. Ia ingin berakting secara natural, akan tetapi di lain sisi permainannya justru membuat ruang menjadi terasa tidak wajar, lantaran ia lebih banyak mengeksplor gerak tetapi tidak mencoba merespon ruang yang berornamen itu. Ruang seolah hanya menjadi dekorasi atau hiasan permainan, ia seperti  terkurung dalam sangkar yang fantastis .

Pementasan Et Urinoir adalah suguhan karya yang berupaya mensinergikan antara akting, musik, dan ruang. “Apapun yang terjadi, karya ini akan terus saya eksplorasi”, begitu kata Rendra.

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)

Komentara Penonton:

Pementasan Et Urinoir ini menurut saya masih merupakan sebuah pemanasan dari sebuah perjalanan panjang keaktoran seorang Rendra. Kalau Rendra bisa dengan cerdik menggali lebih banyak lagi referensi pemanggungan sebagai bentuk pementasan, lakon ini akan berkembang. Dan hal itulah yang akan dinantikan oleh banyak orang. (Giras Basuwondo, 30 tahun, pekerja film)

Sebuah “proyek penghadiran”  mimpi dan imajinasi yang sangat tekun. Di sini saya kira tidak perlu ada perbantahan tentang  letak kata-kata yang tepat. Semua indah dan nikmat dalam ruang imajinatif. (Franz, 35 tahun, fotografer)

Latar panggung bagus tapi ada satu bagian yang ceritanya mubeng ga bisa ngembang… tapi secara keseluruhan apik karena ceritanya tidak terbata-bata. (Dhisga Amandatya, 16 tahun, pelajar SMP Imaculata)