Oleh: Ari Dwianto*

Studiklub Teater Bandung (STB) mementaskan sebuah pertunjukan yang mereka sebut Komedi Stamboel dengan judul “Ah, Matjam-matjam Maoenja“. Naskah terjemahan Asrul Sani dari karya Moliere yang berjudul Les Precieuses Ridiculous itu dipentaskan dalam babakan tiga stamboel. Pertunjukan tersebut merupakan rangkaian pentas keliling STB di empat kota yaitu  Solo, Bali, Mataram, dan Yogyakarta. Di Yogyakarta pertunjukan diadakan di Auditorium Teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) pada 21 Juni 2010 pukul 16.00 WIB.

Pertunjukan dibuka dengan nyanyian yang diiringi musik keroncong. Para pemain berada di atas panggung dan bergiliran untuk memperkenalkan peran yang dimainkan dengan gaya dan karakter perannya. Adalah seorang Ayah yang kolot dengan dua anak gadisnya yang centil dan seorang kacung rumah tangga. Ditambah dua orang bangsawan yang jumawa dan dua pelayannya yang menyamar sebagai bangsawan muda perlente.

Foto: Andika Ananda

Sandiwara pun dimulai. Dua orang laki-laki bangsawan menunjukkan kekecewaan dan sakit hatinya lantaran lamaran nikahnya baru saja ditolak. Mereka kemudian merencanakan sesuatu untuk membalas perlakuan gadis-gadis yang menolak lamaran mereka.

Adalah dua orang gadis remaja: seorang anak dari keluarga berada dan sepupunya. Mereka menolak untuk dijodohkan oleh sang ayah karena menurut mereka cara perjodohan terlalu berbau dagang. Mereka menginginkan seorang laki-laki yang mempunyai cita rasa muda, perlente, dan romantis. Maka ketika datang dua orang pemuda yang menurut pandangan mereka layak masuk dalam kriteria laki-laki pujaan, mereka pasang aksi agar bisa merebut hati pemuda-pemuda tersebut. Kekonyolan-kekonyolan pun terjadi. Sampai pada akhirnya terbukalah kedok kedua pemuda tersebut, ternyata mereka adalah pelayan dari bangsawan yang lamarannya telah mereka tolak.

Pertunjukan ditutup dengan nyanyian.

KOMEDI STAMBOEL

Komedi stamboel atau komedi bangsawan adalah lakon kocak yang pada jamannya dibawakan berkeliling dari kota ke kota oleh sekelompok pemain sandiwara. Musik, nyanyian, serta tarian memegang peranan penting dalam sandiwara ini.

STB memilih bentuk komedi stamboel karena ingin menampilkan semangat Moliere dalam melontarkan kritikan dalam balutan banyolan. Untuk mendekatkan situasi dan kondisi yang digariskan dalam naskah, latar waktu yang dipilih dalam cerita sandiwara ini adalah pada paruh awal tahun 50-an, di mana gaya feodal masih mencengkeram kalangan tua sementara kalangan muda mulai terpengaruh gaya hidup warisan kolonial. Latar tempat kejadian dalam lakon ini adalah sebuah rumah orang kaya di pinggiran ibukota.

Ciri komedi stamboel pada pementasan sandiwara ini diperlihatkan dalam unsur-unsur pertunjukan yang mereka gelar. Nyanyian dan tarian menjadi bagian pertunjukan sandiwara, dengan musik keroncong sebagai iringan, sementara para pengiringnya ditampilkan di atas panggung. Bentuk karikatural dipilih untuk akting, gerak, dan gestur pemain. Sementara itu set panggung dan tata cahaya dihadirkan dengan sederhana.

Musik keroncong menjadi pengiring pertunjukan.

Meski dengan tata panggung yang minimalis, pertunjukan sandiwara ini tidak kekurangan daya tariknya karena teknik permainan para aktornya sudah mampu memberi kekuatan pada pementasan sandiwara komedi ini. Akting, gerak, dan gestur karikatural dari pemain yang ditata sedemikian rupa dapat memunculkan banyolan dan kekonyolan yang mengocok perut penonton.

Jika mau menunjuk kelemahan, maka hal itu terlihat pada set panggung yang terkesan naif dan hanya menjadi dekorasi. Sebenarnya dengan panggung yang minimalis tersebut, terbuka kemungkinan untuk mementaskan sandiwara ini tidak di dalam gedung pertunjukan tetapi di ruang yang lain, yang memungkinkan jarak penonton lebih dekat sehingga pemain dapat melibatkan penonton dalam permainan. Dengan demikian, banyolan dan kekocakan dalam naskah sandiwara ini bisa dibangun bersama penonton.

* Ari Dwianto, reporter skAnA, aktor Bengkel Mime Theatre

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)


Tim Kerja

Sutradara: IGN. Arya Sanjaya/ Pimpinan Produksi: Dra. Sugiyati SA/ Pimpinan Pentas: Dwi Setiona/ Pimpinan Artistik: Diyanto/ Penata Busana: Dra. Sugiyati SA/ Penata Rias: Yoyo Pasopati/ Penata Cahaya: Moel MGE/ Pemusik: Ahmad Mukyawan, Mulyana Kamsoy, Aris Munandar, Ricky Mulyana, Agung/ Pemain: Ayi Kurnia Iskandar, Dedi Warsana, Kemal Ferdiansyah, Deden Syarif, Aji Sangaji, Ria Ellysa Mifelsa, Deti Gartika, Dwi Setiono

Komentar penonton:

Asyik, aktingnya rata-rata oke walau terkesan agak jadul dari segi pilihan tema naskah, bentuk dan set artistik. Selama di Jogja aku belum pernah melihat teater kayak gitu, bisa dijadikan referensi. Melihat pentas Studi Teater Bandung sore itu aku banyak belajar. (Andhika Ananda, aktor kelompok Seni Teku)