Oleh: Puthut Buchori*

Setiap ruang tentu memiliki ruh dan atmosfir tersendiri, namun jika spirit ruang tersebut tidak dimunculkan dan tidak dikelola secara kreatif, maka yang tampak hanyalah ruang yang kosong, dingin, dan tak bermakna.

Seorang arsitek adalah seseorang yang dapat memberi makna pada ruang atau sudut ruang terkecil sekalipun menjadi sesuatu yang berharga dan nyaman dipandang mata. Seorang pelukis pun secara teknik, emosi, imajinasi, dan fantasi tentu paham dengan kanvas atau media apapun sebagai ruang dalam berkarya, di mana dia harus menggoreskan makna, memberi fokus tontonan pada karya lukisnya. Seorang seniman seni pertunjukan tak ubahnya seorang arsitek ataupun pelukis yang harus mampu menciptakan ruang-ruang imajinasi yang dikelola dari ruang-ruang sederhana, atau bahkan dari ruang-ruang tak berharga yang lepas dari pandangan mata. Tim artistik Teater Kulonprogo (TeKaPe) Yogyakarta mencoba masuk pada posisi tersebut, yaitu menciptakan ruang baru untuk dapat memancing imajinasi penonton.

Pada perhelatan Festival Teater Jogja 2010, yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Umar Kayam, TeKaPe sebagai salah satu peserta festival tersebut, sepakat untuk memilih naskah Umang Umang karya Arifien C. Noer (satu dari sekian judul naskah yang disediakan panitia). Naskah tersebut dipilih karena membuka kemungkinan untuk berimajinasi dengan ruang seluas-luasnya.

Dari karya hebat yang ditulis oleh maestro teater Indonesia ini, banyak kemungkinan yang dapat dieksplorasi secara visual dari sisi ruang pertunjukan. Naskah tersebut dikaji dan diinterpretasi ulang sesuai keadaan, kemampuan, dan kreatifitas yang dimiliki personil TEKAPE yang sebagian besar adalah pekerja-pekerja teater muda yang masih bersemangat membangun inovasi dan imajinasi baru di dalam proses berteaternya. Lakon Umang Umang diadaptasi dengan mengambil spirit humanity dan religiusitasnya (seperti pada naskah Arifin yang lain) menjadi bentuk lakon baru yang tentu akan sangat berbeda dengan pementasan Umang Umang produksi Teater Kecil atau kelompok teater lainnya. Tim artistik yang terdiri dari Muhammad Shodiq (sutradara), penulis (art director), dan Bandung Bondowoso Stage Management (visualizer), melakukan survei ke beberapa tempat sesuai konsep yang telah disepakati yakni sebuah pertunjukan yang dapat mengeksplorasi berbagai rupa (visual) pertunjukan dengan menggunakan unsur tanah, air, udara, dan api sebagai media dalam menggarap pertunjukan.

Pilihan jatuh pada jembatan kecil berukuran 3 x 5 meter di dusun Kalisoka, desa Margosari, kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulonprogo. Lingkungan di sekitar jembatan tersebut memiliki sudut-sudut artistik yang unik dan menarik berupa unsur air, unsur tanah, dengan berbagai macam tanaman yang cukup kuat memberi makna secara artistik, dan unsur udara bebas dengan background langit lepas di antara pepohonan yang menjulang tinggi, terasa pas untuk menghadirkan lakon Umang Umang versi TeKaPe.

Panggung berbentuk piramid terbuat dari bambu dibangun di atas sungai

Untuk kepentingan konsep tempat di mana cerita berlangsung dan konsep tempat di mana cerita dihadirkan pada penonton, di atas sungai tersebut dibangun performance area berbentuk piramid yang dibuat dari bambu, disusun seperti jembatan bambu yang silang sengkurat, menjulur dari berbagai arah. hal ini menyimbolkan perkampungan para pencuri yang jauh dari perkampungan penduduk namun selalu ingin bertuju ke mana saja. Tempat itu diimajinasikan sebagai tempat berkumpulnya para pencuri kreatif yang bisa berkhayal apa saja tentang hasil jarahannya, bahkan dapat pula diartikan sebagai tempat sidang agung para pencuri dalam memutuskan rencana besar dalam rangka mencuri semesta.

Ruang pertunjukan yang diciptakan oleh tim artistik TeKaPe semula adalah ruang kosong, yang sama sekali tidak pernah dipakai dalam aktifitas apapun oleh warga dusun Kalisoka. Dalam kurun waktu tiga minggu menjelang pementasan, jembatan itu berubah menjadi ruang publik yang hidup dan bersahaja, karena selain menjadi tempat berlatih para pendukung Umang Umang, di waktu senggang juga digunakan anak-anak dusun sebagai area bermain yang menyenangkan dan menghibur. Jembatan itu menjadi ruang rekreasi baru, yang memang dibutuhkan anak-anak dusun tersebut karena mereka berada jauh dari area permainan (masyarakat dusun Kalisoka termasuk masyarakat transisi, di mana aktivitas permainan tradisonal sudah mulai mereka tinggalkan namun permainan modern belum bisa dijangkau). Maka permainan perkampungan bambu tersebut bisa menjadi alternatif permainan baru.

Ditinjau dari sudut pemahaman konsep pertunjukan teater modern, konsep artistik pementasan Umang Umang TeKaPe ini dapat memberi warna baru, baik bagi apresiator pertunjukan yang sudah biasa menyaksikan pertunjukan-pertunjukan teater modern maupun bagi apresiator baru, yakni masyarakat desa yang (mungkin) baru pertama kali menyaksikan pertunjukan teater modern. Dengan tontonan di atas sungai yang juga memanfaatkan berbagai macam elemen pertunjukan (pesta kembang api, akrobatik bambu, permainan air seperti berenang, ciblon, terjun ke air, dll) ini, TeKaPe berharap dapat memberi pencerahan dan wawasan bagi (terutama) kelompok teater pemula yang kadang―karena minimnya dana dan fasilitas―repot dengan urusan mencari tempat pertunjukan. Prinsip konsep pertunjukan Umang Umang ini adalah “pertunjukan bisa dihadirkan di mana saja, bergantung dengan menarik dan tidaknya konsep tontonan dan eksekusi pertunjukan yang akan dihadirkan”. Sejelek dan setidak-menariknya venue yang akan digunakan, masih dapat disulap sedemikian rupa sehingga menjadi tempat pertunjukan yang menarik, fantastis, dan eksentrik. Pementasan Umang Umang ini, dengan upaya memaknai ruang kosong―yang semula terkesan kumuh dan tak bermanfaat, hanya sebagai sarang nyamuk karena banyaknya semak belukar liar di sekitarnya―dan mengubahnya menjadi ruang tontonan berhasil menghibur dan mengesankan baik penonton maupun para pemainnya. Dari riset penonton yang dikelola tim produksi pementasan, diketahui bahwa hampir semua penonton (baik yang jauh-jauh datang dari Jogja yang berjarak 30 km maupun penonton lokal yaitu warga dusun Kalisoka, Margosari, dan sekitarnya) tidak ada yang komplain dengan tontonan tersebut, sebaliknya merasa senang dan puas. Hal ini membuktikan bahwa segala macam bentuk tontonan pada segala bentuk ruang pertunjukan tidak mematikan kreatifitas seniman dalam menghadirkan ruang imajinasi pada diri pelaku seni itu sendiri ataupun pada khalayak penonton.

Umang Umang yang disajikan oleh TeKaPe pada tanggal 17 Juli 2010 itu bercerita tentang rencana gerombolan pencuri pimpinan Waska, seorang tokoh pencuri agung yang karismatik seperti halnya pencuri besar negeri ini, yang sangat kejam dan jahat meski mereka berwajah tampan dan santun, pencuri yang tega membunuh generasi demi kepentingan pribadi. Pementasan ini didukung pemain: M. Fajarwanta, Budi Satrio Utomo, Kenwari Hawa, Fahrunnida, Dwi Fatonah, Fajruliyah Roza Mafaza, Nur Aining, Isnarsella Dabriatiin, Edsara Afina Ghaida Fasya, dan Doni AsSarkem.

 

* Puthut Buchori, Art director pementasan Umang Umang karya Arifin C. Noer oleh Teater Kulonprogo Yogyakarta.

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)

 

Oleh: Nanang Arizona*

 

Aku selalu gagal menceritakan pengalaman berharga tentang ruang. Mungkin karena pengalaman itu sangat personal. Mungkin pula karena pengalaman itu sulit diringkus dalam untaian kalimat. Ketika berbagai referensi tentang ruang kubaca, ternyata ruang memang sesuatu yang rumit untuk dirumuskan. Aristoteles, Einsten, Newton, dan Kant adalah orang-orang yang telah mengerutkan dahinya untuk merumuskan berbagai teori tentang ruang. Ruang tetaplah sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu, tulisan ini hanya lah sepenggal pengalaman yang tidak sepenuhnya utuh tentang ruang.

Aku memiliki hobi yang berbeda dengan beberapa teman teater. Saat teman-teman mulai berlatih teater, aku sering pergi diam-diam menyelinap masuk auditorium. Aku duduk menghadap stage yang kosong. Pada saat itulah aku membayangkan tentang berbagai kemungkinan tata artistik yang bisa muncul dalam stage kosong itu. Muncullah berbagai gambaran tentang bentuk tata artistik. Aku bisa duduk berjam-jam menyaksikan kelebatan-kelebatan visual yang sering berupa potongan gambar yang tumpang tindih, tetapi juga tidak jarang merupakan gambaran yang utuh.

Biasanya bayangan-bayangan itu mulai menyusun dirinya sendiri dengan berbagai kemungkinan bentuk dan susunan yang berbeda-beda. Jika bayangan itu telah tampil utuh, aku mulai menyusun bayangan baru. Aku coba membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Aku bayangkan bagaimana seandainya stage hanya berisi gantungan batu-batu. Aku bayangkan bagaimana jika air mengucur kemudian dihajar cahaya biru. Aku bayangkan bagaimana jika dinding panggung dan seluruh properti bercat putih dengan seorang pemain memakai kostum merah marun. Aku bayangkan apa saja yang mungkin bisa terjadi lengkap dengan keberadaan pemain-pemainnya. Aku juga membayangkan hal-hal yang sederhana, tentang susunan level, seberkas cahaya, seutas tali, dinding, kursi tua, pohon, dan sebagainya. Setiap bayangan berganti, aku mendapatkan sensasi yang berbeda. Setiap garis, bentuk, warna, dan unsur bayangan kuubah, maka berubah pula sensasi visual yang kudapatkan.

Ruang menuntunku untuk menjelajah berbagai benda. Mulai dari kayu, bambu, batu, besi, kertas, kaca, air, pasir, kawat berduri, daun, dan sebagainya. Mulai dari bentuknya yang bulat, runcing, segi tiga, bahkan bentuk tak beraturan. Mulai dari ukuran, warna, raut, dan teksturnya. Mulai dari kelenturannya, kegetasannya, kekuatannya, kerapuhannya. Mulai dari susunannya, komposisinya, ritmenya, dan sebagainya. Semuanya itu mampu memberi sensasi visual yang berbeda-beda.

Semua naskah yang kubaca telah kubayangkan bagaimana tata artistiknya. Itu juga aku lengkapi dengan ritual duduk berlama-lama di hadapan stage yang kosong. Sungguh menggairahkan. Bagiku, ruang memiliki daya sihir yang luar biasa. Luas ruang stage yang terbatas itu mampu menghadirkan berbagai karakter; kesunyian, keagungan, keceriaan, keterhimpitan, keterasingan, dan sebagainya. Bahkan hanya dengan tarikan garis, seberkas cahaya, atau noktah warna. Aku bisa mendapatkan berbagai karakteristik ruang.

Setiap pertunjukan sepertinya menuntut ruangnya sendiri. Ketika aku membaca End Game karya Samuel Beckett, misalnya, terbayang ruang yang menghimpit. Ruang di mana manusia dilemparkan dalam keterasingan. Maka yang muncul dalam bayangan adalah ruang dengan elemen-elemen yang berat, warna yang berat, teksur yang kasar, dan komposisi menghimpit yang mengantarkan pada kehampaan. Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap peristiwa teater menghendaki ruangnya sendiri. Kita tengok bagaimana orang-orang Yunani menggelar pertunjukan di ruang luas yang terbuka. Mereka menyikapinya sebagai upacara bersama seluruh warga yang disaksikan para dewa yang berada di langit.

Ketika realisme muncul, manusia tidak lagi percaya pada kekuatan dewa, maka ruang pertunjukan menyelinap dalam ruang tamu, kamar tidur, beranda, dapur, di mana persoalan antar individu muncul dan harus diselesaikan dengan kekuatannya sendiri. Maka realisme menghapus dinding-dinding yang menghalangi mata penonton untuk melihat ruang-ruang di mana konflik individu terjadi. Penghapusan dinding-dinding itulah yang melahirkan teori ”dinding ke empat” dalam realisme. Teater epik Bertolt Brecht juga membutuhkan ruangnya sendiri. Bagi Brecht, ruang pertunjukan ibarat ruang kelas di mana pelajaran diberikan. Teater adalah untuk membangun sikap kritis. Oleh karena itu, ruang pertunjukan teater epik  menghadirkan slide, poster-poster, film yang memungkinkan dijadikan media membangun sikap kritis.

Semua itu meyakinkanku bahwa setiap pertunjukan teater memiliki karakteristik ruangnya sendiri. Setiap kali menciptakan ruang pertunjukan, aku dituntut untuk menghadirkan karakteristik itu. Dan yang biasa kulakukan sampai saat ini adalah berhubungan langsung dengan ruang itu. Berhadapan dengan ruang itu. Mengenali elemen-elemen yang melingkupinya. Jika aku harus membuat set di sungai, maka aku harus hadir di sungai itu. Mengetahui luasnya, kemiringan tebing-tebingnya, orientasi tumbuhnya pohon-pohon di sekitarnya, batu-batunya, dan sebagainya.

Kegemaranku duduk berlama-lama menghadap ruang pertunjukan masih kulakukan sampai saat ini. Sebagian yang pernah kubayangkan telah kuwujudkan. Dan aku harus selalu membangun bayangan-bayangan baru agar tidak mengulang menghadirkan bayangan yang lama. Rupanya, untuk membangun bayangan baru tidak mudah sebagaimana kubayangkan. Aku harus banyak melihat pertunjukan, melihat apa yang pernah diciptakan orang, melihat pameran, mencermati karya-karya arsitektur, dan membaca.

Jika set yang kubangun telah selesai, aku pun masih butuh duduk memandanginya. Membayangkan untuk menambah, mengurangi, menggeser, bahkan mungkin harus membongkarnya dan menyusunnya kembali. Toh ruang bisa kuhapuskan dan kubangun kembali. Benar yang dikatakan Lao Tzu, ”Meskipun tanah liat dapat dibentuk menjadi jambangan, tetapi arti sesungguhnya dari jambangan itu adalah kekosongan yang terkandung dalam jambangan itu sendiri. Jika jambangan itu pecah, maka ruang itu lenyap pula”. Maka, upaya menambah, mengurangi, menggeser, bahkan membongkar itu adalah upaya untuk menemukan kekosongan itu.

Penggalan pengalaman yang kusampaikan ini tidak utuh benar sebagaimana kualami. Kisahku menyusun ruang pertunjukan ini adalah cara jadul yang tidak harus diikuti. Kau pasti punya cara sendiri untuk menghadirkan ruang pertunjukan.

 

* Nanang Arizona, dosen artistik jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta

 

Ruang (space) itu segala hal yang dijalani, dilakoni, praktik, dalam hidup yang masih berlangsung. Tapi kalau dilihat, diomong-omongkan, dinamai, dll, itu namanya tempat (place). (Yoshi Fajar Kreno Murti, Arsitek)

 

Sebuah tempat yang awalnya kosong dan bisa dijadikan apa saja. Kalau di depan tentunya jadi ruang tamu atau teras, kalau di tengah bisa jadi ruang keluarga, tapi kalau tempatnya  di belakang ga melulu jadi gudang, tapi buat saya bisa jadi tempat privasi dan ruang yang paling bikin betah. Tapi ruang itu bukan hanya tempat atau sekotak bidang, tapi bisa berbentuk sekumpulan orang-orang di mana bisa jadi ruang berbagi, berdiskusi, atau apa saja, ngrumpi kek. Bisa juga ada dalam anatomi tubuh kita, hati misalnya. (Epiest gee, Ibu rumah tangga)

 

Space..wilayah yang mampu memberikan kesan dan suasana tertentu, entah 2 dimensi atau 3 dimensi. Warnapun bisa dikatakan ruang. (Ulin, Mahasiswa)

 

Ruang: Batas nyata dan imajiner. (Turah, setting man dan lightingman teater)

 

Ruang adalah kebutuhan gerak visi seni. Maknanya bisa sangat internal maupun eksternal, tergantung visi seni itu sendiri; sejauh mana yang internal merespon yang eksternal dan mengembalikan pada tingkat kebutuhan yang paling signifikan. Tempat, menjadi pilihan akhir untuk meletakkan kebutuhan visi tersebut. (Whani Darmawan, Aktor)

 

Gelap. Pada banyak kasus, kegelapan menciptakan imajinasi tentang ruang, lebih kaya dari pada jika terang benderang. (Kusen Alipah Hadi, pekerja seni, bekerja di Yayasan Umar Kayam)

 

Yogyakarta sebagai Kota Seni telah menjadikan seni sebagai bahasa sosial yang menghangatkan pola interaksi masyarakatnya. Dan karena seni telah menjadi bagian kehidupan keseharian maka keterbukaan ruang sebagai media ekspresi semakin menempatkan seni menjadi milik siapa saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Inovasi kolektif mampu menembus batas pemikiran, bahwa kini ruang pamer dan pentas tidak hanya diartikan sebagai tempat tertutup dengan panggung khusus yang ditimpa cahaya ribuan watt. Kecantikan paras Jogja, memungkinkan sudut-sudutnya, kampung-kampungnya bahkan pinggir kali sekalipun sebagai media ekspresi hasrat berkesenian. Salam Jogja!! (Herry Zudianto, Walikota Yogyakarta)

 

Ruang itu celah-celah kehidupan yang indah. (Maria Magdalena Yuliati, pembuat kue dan jajan pasar)

 

Oleh : Andy Sri Wahyudi

Tepat pukul 20:00 WIB pada tanggal 23 Juli 2010 di ruang perpustakaan Bengkel Mime Theatre, ada sebuah  pementasan mini dengan penonton 15 orang. Rendra Bagus Pamungkas, aktor yang aktif di komunitas Seni Teku dan Teater Gandrik Muda menggelar pentas monolog berjudul Et Urinoir. Dalam ruang berukuran 6 x 4 meter tersebut, area yang digunakan sebagai panggung pementasan hanya 2 x 4 meter. Kecil dan sempit memang, akan tetapi aktor tampak bebas bermain dalam ruang tersebut.

Panggung yang semula adalah ruang berdinding batu bata, beratap anyaman kulit bambu, berjendela, dan berpintu itu ditutup dengan kardus yang dicat warna hitam. Di atas warna hitam itu ditempelkan kubus, bujur sangkar, persegi panjang, dan kerucut warna-warni sehingga tampak tonjolan-tonjolan yang menghidupkan ruang gelap tersebut. Pada dinding di sisi belakang penonton dilukis sebuah gambar sayap malaikat berwarna pink. Pada lantai juga diletakkan kubus-kubus berwarna hijau yang tersebar acak. Ruang kecil itu berubah menjadi dunia fantasi yang berpenghuni mahkluk aneh: manusia berkulit putih sapi, berpakaian daster dengan bawahan lebar, berkepala botak ―hanya menyisakan rambut belakang yang dikepang dua panjang, kaku mencuat ke samping kanan dan kiri.

Rendra Bagus Pamungkas dalam Et Urinoir

Tokoh dalam Et Urinoir tak jelas jenis kelaminnya; ia semacam gambaran potret diri yang tengah mencari identitas hidupnya. Ia bercerita perihal perjalanan yang tak kunjung selesai dan menemui banyak pertanyaan dalam hidupnya. Ia begitu kesepian dalam perjalanan meski bertemu dengan banyak hal yang aneh: Angin Merah Jambu, Tomat Sombong, dan Paman Gajah. Pertemuan itu adalah gambaran kebingungannya sendiri, ia seperti dihadapkan dengan simbol-simbol hidup yang meresahkan.

Teks cerita ditulis dengan imajinasi yang atraktif:

Aku hanya ingin bertanya tentang angin merah jambu di sepetak tanah kecil dan apa yang sedang mereka bicarakan.

Tahukah kau berapa jumlah jari-jariku, kenapa perutku menjadi buncit? Tahukah kau mengapa aku mengambang di atas teratai? Dan tahukah kau mengapa aku tak pernah tergelincir meski aku berjalan di atas bola yang terbuat dari kulit pisang?

Begitulah sepenggal percakapan yang kerap diulang tanpa kepastian ujung. Kepastian yang masih dirahasia. Yapz! seperti judulnya , Et Urinoir―yang artinya tempat untuk buang air kecil―dimaknai sebagai dunia kecil yang sangat rahasia, hanya kita yang tahu.

Lahirnya Ruang dan Musik

Tim kerja dalam pementasan Et Urinoir ini tidak banyak, hanya terdiri dari Rendra Bagus Pamungkas sebagai penulis teks sekaligus pemain, Miftaqul Effendi dan Dino sebagai penata setting, dan Lintang sebagai penata musik. Awalnya, Rendra mengajukan teks kepada penata setting dan penata musik, dan dari pembacaan itu muncul imajinasi ruang dan musik. Miftaqul Effendi mengemukakan gagasan ruang kecil dengan ornamen-ornamen bangun matematika. Visual set panggung terinspirasi dari teks yang atraktif dan kekanakan yang kemudian diwujudkan menjadi ruang fantasi yang dasar idenya adalah ruang yang melawan gravitasi. Tak ada batas antara atap, lantai, dan dinding; semua berisi ornamen yang setipe. Sejujurnya imajinasi ruang tersebut menghendaki pemain menginjakkan kakinya di mana saja.

Musik turut berperan dalam mewujudkan dunia baru yang dikehendaki teks. Lintang menggunakan musik “Chiptune”, mirip bunyi dalam game Nitendo, yang diperdengarkan sesekali. Lintang menghadirkan musik dengan volume yang tidak melulu keras namun kadang lirih, sehingga permainan menjadi berirama. Ruang kecil itu semakin kuat membangkitkan imaji dunia fantasi ketika berpadu dengan musik. Untuk menambah kuat kesan fantasi pada pementasan ini, penonton yang hadir dihadiahi sebatang  permen lolipop dari gulali dan kacamata tiga dimensi.

Sementara sebagai aktor, Rendra berusaha memacu imajinasinya untuk memaksimalkan gerak tubuh tanpa harus mengada-ada. Ia ingin berakting secara natural, akan tetapi di lain sisi permainannya justru membuat ruang menjadi terasa tidak wajar, lantaran ia lebih banyak mengeksplor gerak tetapi tidak mencoba merespon ruang yang berornamen itu. Ruang seolah hanya menjadi dekorasi atau hiasan permainan, ia seperti  terkurung dalam sangkar yang fantastis .

Pementasan Et Urinoir adalah suguhan karya yang berupaya mensinergikan antara akting, musik, dan ruang. “Apapun yang terjadi, karya ini akan terus saya eksplorasi”, begitu kata Rendra.

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)

Komentara Penonton:

Pementasan Et Urinoir ini menurut saya masih merupakan sebuah pemanasan dari sebuah perjalanan panjang keaktoran seorang Rendra. Kalau Rendra bisa dengan cerdik menggali lebih banyak lagi referensi pemanggungan sebagai bentuk pementasan, lakon ini akan berkembang. Dan hal itulah yang akan dinantikan oleh banyak orang. (Giras Basuwondo, 30 tahun, pekerja film)

Sebuah “proyek penghadiran”  mimpi dan imajinasi yang sangat tekun. Di sini saya kira tidak perlu ada perbantahan tentang  letak kata-kata yang tepat. Semua indah dan nikmat dalam ruang imajinatif. (Franz, 35 tahun, fotografer)

Latar panggung bagus tapi ada satu bagian yang ceritanya mubeng ga bisa ngembang… tapi secara keseluruhan apik karena ceritanya tidak terbata-bata. (Dhisga Amandatya, 16 tahun, pelajar SMP Imaculata)

Oleh: Ari Dwianto*

Studiklub Teater Bandung (STB) mementaskan sebuah pertunjukan yang mereka sebut Komedi Stamboel dengan judul “Ah, Matjam-matjam Maoenja“. Naskah terjemahan Asrul Sani dari karya Moliere yang berjudul Les Precieuses Ridiculous itu dipentaskan dalam babakan tiga stamboel. Pertunjukan tersebut merupakan rangkaian pentas keliling STB di empat kota yaitu  Solo, Bali, Mataram, dan Yogyakarta. Di Yogyakarta pertunjukan diadakan di Auditorium Teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) pada 21 Juni 2010 pukul 16.00 WIB.

Pertunjukan dibuka dengan nyanyian yang diiringi musik keroncong. Para pemain berada di atas panggung dan bergiliran untuk memperkenalkan peran yang dimainkan dengan gaya dan karakter perannya. Adalah seorang Ayah yang kolot dengan dua anak gadisnya yang centil dan seorang kacung rumah tangga. Ditambah dua orang bangsawan yang jumawa dan dua pelayannya yang menyamar sebagai bangsawan muda perlente.

Foto: Andika Ananda

Sandiwara pun dimulai. Dua orang laki-laki bangsawan menunjukkan kekecewaan dan sakit hatinya lantaran lamaran nikahnya baru saja ditolak. Mereka kemudian merencanakan sesuatu untuk membalas perlakuan gadis-gadis yang menolak lamaran mereka.

Adalah dua orang gadis remaja: seorang anak dari keluarga berada dan sepupunya. Mereka menolak untuk dijodohkan oleh sang ayah karena menurut mereka cara perjodohan terlalu berbau dagang. Mereka menginginkan seorang laki-laki yang mempunyai cita rasa muda, perlente, dan romantis. Maka ketika datang dua orang pemuda yang menurut pandangan mereka layak masuk dalam kriteria laki-laki pujaan, mereka pasang aksi agar bisa merebut hati pemuda-pemuda tersebut. Kekonyolan-kekonyolan pun terjadi. Sampai pada akhirnya terbukalah kedok kedua pemuda tersebut, ternyata mereka adalah pelayan dari bangsawan yang lamarannya telah mereka tolak.

Pertunjukan ditutup dengan nyanyian.

KOMEDI STAMBOEL

Komedi stamboel atau komedi bangsawan adalah lakon kocak yang pada jamannya dibawakan berkeliling dari kota ke kota oleh sekelompok pemain sandiwara. Musik, nyanyian, serta tarian memegang peranan penting dalam sandiwara ini.

STB memilih bentuk komedi stamboel karena ingin menampilkan semangat Moliere dalam melontarkan kritikan dalam balutan banyolan. Untuk mendekatkan situasi dan kondisi yang digariskan dalam naskah, latar waktu yang dipilih dalam cerita sandiwara ini adalah pada paruh awal tahun 50-an, di mana gaya feodal masih mencengkeram kalangan tua sementara kalangan muda mulai terpengaruh gaya hidup warisan kolonial. Latar tempat kejadian dalam lakon ini adalah sebuah rumah orang kaya di pinggiran ibukota.

Ciri komedi stamboel pada pementasan sandiwara ini diperlihatkan dalam unsur-unsur pertunjukan yang mereka gelar. Nyanyian dan tarian menjadi bagian pertunjukan sandiwara, dengan musik keroncong sebagai iringan, sementara para pengiringnya ditampilkan di atas panggung. Bentuk karikatural dipilih untuk akting, gerak, dan gestur pemain. Sementara itu set panggung dan tata cahaya dihadirkan dengan sederhana.

Musik keroncong menjadi pengiring pertunjukan.

Meski dengan tata panggung yang minimalis, pertunjukan sandiwara ini tidak kekurangan daya tariknya karena teknik permainan para aktornya sudah mampu memberi kekuatan pada pementasan sandiwara komedi ini. Akting, gerak, dan gestur karikatural dari pemain yang ditata sedemikian rupa dapat memunculkan banyolan dan kekonyolan yang mengocok perut penonton.

Jika mau menunjuk kelemahan, maka hal itu terlihat pada set panggung yang terkesan naif dan hanya menjadi dekorasi. Sebenarnya dengan panggung yang minimalis tersebut, terbuka kemungkinan untuk mementaskan sandiwara ini tidak di dalam gedung pertunjukan tetapi di ruang yang lain, yang memungkinkan jarak penonton lebih dekat sehingga pemain dapat melibatkan penonton dalam permainan. Dengan demikian, banyolan dan kekocakan dalam naskah sandiwara ini bisa dibangun bersama penonton.

* Ari Dwianto, reporter skAnA, aktor Bengkel Mime Theatre

(terbit di skAnA volume 13, September 2010-Januari 2011)


Tim Kerja

Sutradara: IGN. Arya Sanjaya/ Pimpinan Produksi: Dra. Sugiyati SA/ Pimpinan Pentas: Dwi Setiona/ Pimpinan Artistik: Diyanto/ Penata Busana: Dra. Sugiyati SA/ Penata Rias: Yoyo Pasopati/ Penata Cahaya: Moel MGE/ Pemusik: Ahmad Mukyawan, Mulyana Kamsoy, Aris Munandar, Ricky Mulyana, Agung/ Pemain: Ayi Kurnia Iskandar, Dedi Warsana, Kemal Ferdiansyah, Deden Syarif, Aji Sangaji, Ria Ellysa Mifelsa, Deti Gartika, Dwi Setiono

Komentar penonton:

Asyik, aktingnya rata-rata oke walau terkesan agak jadul dari segi pilihan tema naskah, bentuk dan set artistik. Selama di Jogja aku belum pernah melihat teater kayak gitu, bisa dijadikan referensi. Melihat pentas Studi Teater Bandung sore itu aku banyak belajar. (Andhika Ananda, aktor kelompok Seni Teku)